PAK SENO MUDIK, KAMI PANIK

PAK SENO MUDIK, KAMI PANIK

Siapa yang mudik tahun ini? Semua perantau seakan berlomba mengacungkan jari seraya berterika say, saya, saya layaknya anak-anak kelas satu es de ketika berebut menjawab pertanyaan mencongak di akhir pertemuan sebuah hari.

Kemarin, September 15 2008, kami dikagetkan oleh halaman sekaligus tempat parkir yang dihiasi dengan dedaunan kering dan kertas, plastik berserakan tak berpola. Wah, Pak Seno belum nyapu halaman nih. Usut punya usut rupanya OB kami, Pak Seno sudah mendahului pulang kampung…

Lagi-lagi tadi pagi, September 16, 2008. Tiba di halaman saya langsung disambut oleh pemandangan tak biasa. Nes, scheduler kami, sedang milang-miling (mencari-cari sesuatu, Bahasa Jawa). Usut punya usut ternyata dia sedang mencari sapu lidi guna menyapu halaman yang ternyata jauh lebih penuh sampah daripada kemarin.

“Rike, Pak Seno baru balik habis Lebaran. Kita harus kerja bakti,” sapa Nes dengan gaya khas Kanton-nya.

Di dalam kantor lantai masih belang-belang. Pak Eko juga sedang sibuk mencari pengki. Saya segera menghidupkan komputer, meng-upload sebuah file lalu bergegas menuju pantry. Disana piring kotor, gelas kotor, mangkuk kotor, pirex kotor, sendok garpu kotor, microwave kotor, segala perangkat kotor…

“Ok, Pak Eko. I’ll do the dishes!” seru saya dari pantry.

Langsung saya tangani dengan sigap seember korahan (perkakas dapur yang kotor, Bahasa Jawa) lalu sambil mencucinya saya berpikir.

Alangkah pentingnya peran Pak Seno dalam keseharian kami. Selama ini kami selalu berpikir bahwa kelangsungan perusahaan ini ada di tangan kami-kami saja. Tak sering terbersit di pikiran bahwa tanpa OB sebuah perusahaan akan mengalami percepatan negatif karena karyawan yang langsung berhadapan dengan client dan data harus juga mengurusi pekerjaan rumah tangga yang secara khusus menjadi tanggung jawab OB.

Saya juga jadi teringat Odah dkk (karakter dalam serial TV OB) yang kadang njengkelin “para penyuruh” dan saya secara otomatis bisa memahami kesenewenan “para pesuruh” menghadapi teriakan dan ketidakpuasan “para penyuruh” itu. Ternyata capek mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Belum lagi setelah itu harus mengurusi pekerjaan kantor. Belum lagi ini-itu keperluan kecil yang menurut penyuruh sepele namun sesengguhnya menguras tenaga dan emosi. Walah… Kalau sudah begini rasanya Pak Seno menjadi pegawai paling penting di kantor kami.

Siangnya, tidak ada orang yang ngendon di foyer kantor (ini tempat Pak Seno melamun sekaligus menjaga warni-nya dari kejauhan). Warni (warung mini) Pak Seno laris manis bukan oleh kami tapi oleh para sopir dan karyawan kantor kiri kanan kami. Kami ini kerjaannya cuma bikin Pak Seno capek. Payah!

Karena tak ada penjaga ruang tamu maka para salesperson dan peminta sumbangan keluar masuk tanpa mengetuk pintu, lalu berteriak-teriak uluk salam. Salah seorang dari kami menjadi korban ceramah lantaran tak memberikan sedekah di bulan suci Ramadhan. Akhirnya kami mengunci diri dari dalam karena tak mau lagi meladeni kerusuhan demi kerusuhan yang tak luwes kami tangani. Ini adalah praktik LOCK-IN pertama di kantor kami. Padahal kami inilah yang “menghukum” pabrik yang me-LOCK-IN karyawannya untuk bekerja ha ha ha…

Oalah… hari pertama piket kantor.

Pak Seno, maafin ya kalau selama ini sering bikin capek atau kesel. Kami berbuat it
u karena lupa bahwa pekerjaanmu ini sangat melelahkan. Selamat mudik ya, Pak Seno. Semoga pernikahannya lancar; yang paling penting dapat istri yang jauuuuh lebih setia daripada yang dulu.

Fyi, sorenya tak ada satupun dari kami yang mau memakai piring dan gelas kantor. Takut besok pagi numpuk cucian dan kena hukuman korah-korah (cuci piring gelas, Bahasa Jawa) ha ha ha…

OB… Itulah office boy…

16 thoughts on “PAK SENO MUDIK, KAMI PANIK

Leave a comment