MURID RAMADHAN MENYAMBUT FAJAR BARU
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Tujuh hari seminggu
Empat minggu bersambungan
Genap sebulan kumeliuk-liuk ikuti irama musim kemarau
Ramadhan menungguiku
Mencatat kejujuranku
Mencatat kebohonganku
Mencatat kebahagiaanku
Mencatat kesedihanku
Ramadhan setia menugguiku
Mencermati cerita siang malamku
Mengeja kata dalam kalimatku
Menghitung bilangan dalam detak detik saatku
Merangkum semua di bukunya
Ramadhan nan jujur
Sedang bersiap berpamitan padaku
Mengemasi catatan dan tikar pandannya
Mengibaskan jubahnya yang penuh debu
Melambai menyuruhku berhenti menari
Menyuruhku bersila di hadapannya
Ramadhan tamu heningku
Tak teraba rasa hatiku
Tiada pula kubaca isyarat jiwaku
Kudatangi kau
Kudengarkan gumam lirihmu
”Masih inginkah kau menerimaku sebagai tamumu? Dimanakah kau akan mendudukkanku? Apakah masih di gudangmu yang tua dan reot ini? Ataukah di tempat lain yang tak kalah usang dan memilukan? Ku mesti bergegas, saudara mudaku kan menyambutmu. Kumandangkan takbir setulus hatimu. Biar segala sesalmu kandas ditindas kebesaran-Nya. Mari anakku, tuntunlah aku menghantarkan catatan tarian jiwamu…”
Embun belum lagi tergelincir dari beludru daun
Saat dia akan segera berangkat
Mendekap catatan yang tak lagi dapat kuhapus
Tak dapat lagi kutawar
Tak dapat lagi…
Tamu-guru akan segera pergi…
Menyerahkanku pada fajar baru
Semoga takbirku kuasa menyibak tirai langit.
Amin…
Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar
Laa ilaaha illallaahu, Allaahu akbar
Allaahu akbar, wa lillaahil hamd
September 30, 2008 – 4:57am
matur nuwun, Mas Ohtrie… sami-sami nggih…
LikeLike
LikeLike