KITA PERLU IMUNISASI

KITA PERLU IMUNISASI

Waktu saya kecil, saya diimunisasikan supaya kebal terhadap berbagai macam penyakit walaupun kenyataannya ada sebuah penyakit yang terpaksa saya idap selama beberapa lama karena suntikan imunisasi tersebut tak mencukupi untuk melawan serangan penjahat dari luar tubuh saya. Untung tidak menular dan dapat disembuhkan sehingga saya bisa bernapas cukup lega.

Ada bekas goresan di lengan kiri saya dan suntikan di lengan kanan saya. Kata ibu itu namanya bekas imunisasi.

Yang masih saya ingat adlah imunisasi polio. Saya masih kecil, tak inget entah sudah sekolah atau belum. Kami sekeluarga pergi ke “kota” untuk mendatangi Rumah Sakit Umum Daerah demi imunisasi saya dan beberapa sepupu saya seusia. Saya disuruh mangap (membuka mulut lebar-lebar, Bahasa Jawa) lalu ditetesi obat yang rasanya jelas nggak enak tapi mesti ditelan dan tak boleh meludah.

Kemudian satu lagi yang masih saya ingat. Saat itu saya kelas enam es de, segerombolan perawat dan dokter datang ke sekolah kami yang segera membuat keonaran karena masih banyak gadis seusia itu yang nyatanya takut jarum suntik dengan berbagai alasan bahka ada yang emngatkan takut terkena tetanus ha ha ha… masuk akal juga ya. Kali ini lengan kami yang menjadi korban, disuntik dengan rasa semut raja karena rasa gigitannya tak terkira bekasnya hingga membuat kami saling ledek sambil menabok lengan satu sama lain; mencari siapa yang paling cengeng.

Hidup in penuh penyakit baik jasmani maupun rohani maka itu sangat masuk akal bahwa imunisasi atau pengebalan sangat penting artinya. Fungsi pengebalan yang membantu manusia belajar menamengi diri terhadap gangguan luar tak bisa tidak harus dilakukan etah secara alami maupun tidak.

Yang dilakukan oleh petugas rumah sakit maupun petugas kesehatan yang datang ke sekolah saya tersebut adalah upaya non alami imunisasi. Sedangkan yang alami adalah yang seperti dilakukan oleh orang yang tak perlu imunisasi namun harus mengalami perjuangan hebat terhadap segala macam penyakit yang gentayangan dalam lingkungannya; jika pada akhirnya dia harus kebal dalam keadaan berpenyakit itu lain cerita.

Secara mental, manusia juga perlu imunisasi. Siapa yang tak tahu bahwa hidup ini penuh penyakit rohani? Sepanjang hidup kita tak sejengkal pun kisah kita tanpa ujian kekebalan. Ijinkan saya untuk menyuratkan sebagian yang saya sebut dengan imunisasi tersebut.

Sepuluh tahun yang lalu saya adalah seorang mahasiswa yang sangat membentengi diri pada segala yang berbau “kiri” hingga saya tak sudi membaca karya seorang pujangga Indonesia yang bernama Pramoedya Ananta Toer. Sungguh saya menangkal segala tawaran dari teman “kiri” saya untuk sekedar berkenalan dengan satu bab dari buku Mas Pram itu. Kawan saya itu sampai putus asa dan menganggap saya tertutup, eksklusif, jumud, dsb julukan tak enak yang akhirnya membuat saya dan mereka agak mengambil jarak. Namun sejak delapan tahun yang lalu saya mengalami pergeseran; saya menerima suntikan dari kiri dan kanan yang membuat saya merasa bahwa yang “kanan” tak akan seimbang tanpa yang “kiri”, dan sebaliknya. Saya membaca apa yang menurut saya enak dibaca tanpa harus khawatir bacaan tersebut “menginfeksi” saya. Masukan-masukan berupa pengalaman dan ide yang di-share oleh orang lain merupakan suatu bentuk pengebalan alias imunisasi yang membuat saya cukup kuat untuk bisa bergaul dengan “dunia luar’ dan menikmati lingkungan pergaulan saya tanpa memakai masker yang berlebihan. Saya bisa bernepas lega, saya merasa imunisasi saya sudah ok sebagai tanda upaya saya dan saya cuma tinggal menyerahkan diri pada Yang Berhak.

Saya adalah seorang pencari yang cukup nekat. Saya setia pada apa yang saya yakini dengan terus-menerus mengenalkan diri saya pada dunia yang secara gamblang menyuguhkan serba neka “dagangan” yang membuat saya kadang termangu dan membego: Amboy, alangkah setianya ilmu ini pada semesta… Tak menyisakan ruang dan waktu untuk istirahat sejenak dari proses berpikir. Saya berteman dengan sesiapa yang mau berteman dengan tulus dengan saya. Saya tak ragu berteman dengan yang hitam, yang putih, yang berwarna, yang tua, yang muda, yang lelaki, yang perempuan, yang diantaranya (walaupun jarang), yang berprinsip keukeuh, yang feodal, yang begini, yang begitu, yang kebingungan, dll…

Saya memperlakukan mereka sebagai sahabat sekaligus guru; saya serap yang bisa saya tembus dengan kebodohan saya; saya teguk yang bisa saya rasakan dengan kehausan saya; saya merampok ilmu dari mereka. Saya tak peduli apaka
h mereka heran karena saya telah menjajari langkah mereka. Saya tak peduli juga apakah mereka bangga karena mereka telah memimpin saya. Saya juga tak peduli apakah mereka menyesal karena saya telah meninggalkan mereka. Namun saya tetap peduli bahwa siapapun Anda, jadilah guru saya.

Dari proses “gaul dengan sesiapa” inilah imunisasi alami saya bekerja. Saya tak lagi takut dengan kutub yang sana karena sedikit banyak saya telah mengenalnya. Saya tak usah lagi gemetaran terhadap tanduk setan karena saya pernah berpengalaman menggunakannya maka saya sedikit tahu bagaimana mengantisipasi srudukannya. Saya juga tak terlalu mundhuk-mundhuk (berjalan membungkuk dengan tujuan menghormati, Bahasa Jawa) di hadapan malaikat karena saya tahu bahwa malaikat itu tak peduli kita mundhuk-mundhuk atau tidak; yang malaikat peduli adalah akurasi naik turunnya kesigapan jiwa kita. Saya juga tak terlalu takut dengan para dracula penghisap karena saya sedikit banyak telah tahu bahwa dracula tak doyan darah penyuka sayur pare yang pahit ha ha ha… (Fyi, dalam kehidupan kita ada beberapa macam dracula lho…)

Saya merasakan mental saya sedang menikmati manfaat imunisasi alami dan non-alaminya. Sekarang ini saya sedang melihat mental saya seperti seorang anak kecil yang tak lagi ragu tertular campak karena tubuhnya telah siaga dengan anti-bodi penjinak campak.

Namun saya tak mau gegabah. Banyak penyakit belum ditemukan obatnya; berarti belum ada serum yang bisa dibiakkan di tubuh kita untuk menahan arus serangan penyakit yang disebabkan oleh makhluk hidup renik yang sama. Begitu juga banyak penyakit mental yang belum ada penagkalnya sehingga tetap saja segala macam upaya mesti kita “trial and error” demi mendapatkan formula tepat membentengi mental kita dari penyakit tersebut.

Sekarang ini makin banyak orang ketakutan menjadi miskin, banyak orang ketakutan menjadi lapar, ketakutan menjadi tak berguna, ketakutan disia-siakan, dll… Dan, bisa saja saya diantaranya.

Saya hanya bisa melongo (lagi); apakah itu penyakit baru atau penyakit tua yang telah bermutasi seperti flu yang bermutasi menjadi flu burung dan berefek mematikan pada manusia juga.

Ah, imunisasi… kamu memang penting dan diperlukan oleh manusia. Saya hanya berharap obat imunisasi adalah segala serum yang tak membawa efek jelek baik mematikan atau mencacatkan manusia. Aku gak iso turu… imunisasine kurang…

Revised on September 30, 2008 – 2:40am

12 thoughts on “KITA PERLU IMUNISASI

  1. jandra22 said: Ya hiduplah dengan santai, jangan kebanyakan mikir……..Di waktu melek, nyanyi-nyanyi terus jadi nggak pernah sempat mikir apa-apa gitu.

    inggih, Tante. bersenandung untuk sementara ini soalnya banyak lagu yang saya gak hapal liriknya he he he…

    Like

  2. rikejokanan said: aduh… iri aku sama Tante Julie… gimana carane bikin awak ngantuk dan bisa tidur tanpa kabotan pikiran begini, padahal udah bersusah-payah mencapekkan diri juga daku ini Tanteku sayang…

    Ya hiduplah dengan santai, jangan kebanyakan mikir……..Di waktu melek, nyanyi-nyanyi terus jadi nggak pernah sempat mikir apa-apa gitu.

    Like

Leave a comment