AKU YANG EGOIS DAN BOB KUCINGKU YANG DIBERKATI

AKU YANG EGOIS DAN BOB KUCINGKU YANG DIBERKATI

Beberapa waktu lalu saya pernah menulis dalam bahasa Inggris tentang seekor kucing bernama Bob yang telah menjadi teman setia saya. Saya menganggap diri saya setia padanya karena telah membuat kucing itu jarang kekurangan makanan dibanding kucing kampong lain yang suka sekali berjejer di luar pintu depan menunggu saya membagi sisa makanan Bob atau makanan baru yang rela saya berikan.

Bob setia.

Saya tak ragu dengan kesetiaan Bob menunggu saya pulang, menemani saya bikin report hingga malam sambil dia klekaran (berbaring santai, Bahasa Jawa) di depan pintu kamar atau tepat di telapak kaki saya. Bob yang telah siap duduk di atas pagar tembok ketika saya diantar pulang oleh Pak Usup atau Pak Usen atau Pak Udin atau Pak Iis. Dengan kaki-kakinya yang jinjit Bob akan mengejarku lincah sambil mengeong manja.

“Aku sudah menunggumu. Aku lapar.”

Oh, Bob lapar maka itu dia menantiku dengan setia karena dia tahu aku yang memberinya makan dan minum walau kadang membuatnya bosan dan hanya bisa menikmatinya sedikit lalu minta dibukakakn pintu atau tidur sambil memperhatikan saya.

Seringkali saya merasa Bob telah mendapatkan yang terbaik dari saya. Makanan yang cukup sehat dan menyehatkannya, tempat tidur yang nyaman (bantal saya), badan yang selalu dibersihkan dari debu dan kutu-kutu, elusan lembut dan obrolan ringan (orang gila) atau kadang dituruti apapun maunya. Tahu nggak sih kucing saya ini biarpun jam 1:00 pagi kalau pengen pulang yang pulang saja – saya tidur di kamar belakang maka dia memanggil-manggil saya dari atas trails dapur.

Menurut ilmu perkucingan, saya merasa telah memberikan yang terbaik.

Makanan sehat, tempat tinggal yang cukup bersih, kasih sayang yang memadai, waktu bermain yang tak terikat, dll

Tapi…

… baru-baru ini saya merasa bahwa saya sesungguhnya belum atau malah tidak pernah memberikan yang terbaik pada Bob. Apa yang saya lakukan hanya sekedar best practice yang menurut manusia adalah perlakuan terbaik pada kucing. Manusia telah merasa optimal ngopeni ingon-ingone (merawat hewan piaraannya, Bahasa Jawa).

Ketika Bob mengeong-ngeong minta keluar, biasanya saya akan menunggunya setengah jam.

1. Jika dia mengeong terus hingga lebih dari 30 menit maka saya akn mengeluarkannya karena dia memang serius pengen sesuatu: kawin atau eek.

2. Jika dia tak pulang maka akan saya cari dia hingga keliling RT (serius ini) dan lalu menggiringnya pulang dan tidak melepasnya kecuali yang terjadi adalah nomer 1 di atas.

3. Jika badan dia kotor maka saya akan segera menyediakan air hangat dan shampoo kemudian mengelapnya dengan kain handuk kecil hingga bulunya tampak tidak dekil.

4. Jika kutu-kutu terlihat gembira di sela-sela rambutnya, saya akan memeluk Bob lalu memunguti kutu-kutu dan telur-telur kutu yang suka mendekam di sela telinga lalu membasminya dengan kuku jempol tangan.

5. Jika dia diam sambil memperhatikan saya, kuciumi hidungnya sampai dia merem-merem.

6. Jika Bob begini maka aku begitukan.

7. Jika Bob begitu maka aku beginikan.

Ilmu saya sebagai seorang biyung (ibu, Bahasa Jawa) bagi Bob saya anggap paripurna dan tidak akan saya dengarkan orang-orang diluar sana yang memberikan pitutur (nasehat, Bahasa Jawa) yang niscaya akan membuat Bob lebih sehat sebagai seekor kucing bukan sebagai seekor hewan piaraan.

Saya tidak menyadari bahwa bisa saja Bob mati karena saya perlakukan terlalu istimewa sesuai buku-buku perkucingan yang saya baca atau nasehat-nasehat dokter hewan yang selama ini kupercaya. Oh, alangkah malangnya Bob kucingku ini.

Saya manyun lama, duduk di depan jendela yang menghadap Simpang Lima sambil membayangkan Bob yang gembira karena saya tinggal pergi. Dia bersuka ria karena bisa tidur di alam bebas walau harus berkalang debu. Bisa jadi dia juga jalan-jalan malam mencari pacar dengna leluasa tanpa harus membangunkan mommy Rike untuk dibukakan pintu depan. Dia juga dengan riang-ria mengejar tikus-tikus usil yang membuatnya gemas sekaligus penasaran. Bob oh Bob… Mungkin kau punya hal lain yang menggembirakan…

Saya berpikir, apakah aku masih mampu menjadi sangat posesif terhadap Bob sedangkan aku seharusnya tidak terlalu yakin bahwa ilmu perkucingan yang kuyakini benar itu bisa saja masih bisa dikritisi…

Bob, besok aku sampai rumah jam 9:00 malam… Kalau bisa kau tunggu aku di rumah ya atau di atas pagar tembok. Biar aku bisa memandang matamu yang selalu menggemaskan itu, biar aku tahu apa sebenarnya maumu… Mau jadi kucing liar saja atau jadi kucing rumah yang kalem atau fifty-fifty kayak sekarang? Terberkatilah kau Bob karena telah menjadi bulan-bulanku selama hampir tiga tahun ini. I love you so much… Let’s realize that our bond is unbreakable…

(lihatlah saya masih ngeyel mencintainya)

Semarang – R1222 – 12:18 pagi – kangen Bob

10 thoughts on “AKU YANG EGOIS DAN BOB KUCINGKU YANG DIBERKATI

  1. sitibahjahocha said: aku yakin si Bob akan milih fifty-fifty.Dia senang dimanja olehmu dan juga senang bebas di luar sana. (komentar orang yang tidak mengerti ilmu perkucingan)

    sebenarnya terlihat begitu… keseimbangan… senang rasanya kau bertandang setelah seabad tak jumpa…

    Like

Leave a comment