SWADESI

SWADESI

Pertama kali saya kenal kata swadesi adalah ketika saya berusia SD, berpuluh tahun yang lalu. Seingat saya ketika saya mendengar kata swadesi maka saya langsung ingat atasan batik dan bawahan putih bersaku dua. Saya ingat sekali penampilan saya sangat lucu. Batik saya berwarna biru cenderung abu-abu dengan warna-warna ceria kecil-kecil. Bawahan putih saya sangat kekanak-kanakan karena alih-alih memakai rok lipit seperti teman-teman lain, saya malah dipakaikan rok gelembung dengan dua saku kiri kanan yang punya tali hias. Tapi saya enjoy saja karena kata Pak Budi (guru Kesenian kami yang galak tapi menyenangkan) asal batik itu sudah swadesi. Katanya lagi manfaatnya besar untuk kecintaan kita pada Indonesia. Kami hanya bengong saja, namanya juga anak kelas dua es de kampung (SDN Sugihwaras 3, Kec. Sugihwaras Kab. Bojonegoro Prov. Jawa Timur).

Bertahun kemudian saya memahami arti kata Swadesi ternyata tak terbatas pada batik.

Swa artinya mandiri; desi artinya desa alias negeri sendiri. Maka swadesi adalah gerakan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri secara mandiri, sedapat mungkin tidak tergantung pada pihak lain terutama yang memiliki pretensi kurang mulia dibalik kebaikannya. Swadesi dipelopori oleh Mahatma Karamchand Gandhi, seorang bijak bestari asal India yang menjadi pemimpin non-formal rakyat India pada masa pendudukan Inggris.

Sedikit dari pelajaran Sejarah Dunia yang pernah saya dapat dari Ibu guru tercinta Bu Kus, Gandhi memang benar-benar mencukupi kebutuhannya secara mandiri: bercocok-tanam dan beternak sendiri, memasak sendiri bahkan menenun sendiri kain yang dipakaikan kepada tubuhnya. Gandhi benar-benar ber-swadesi dengan kesederhanaannya di belantara kemodernan penjajah Inggris. Orang seperti Gandhi Insya Allah tidak akan mati tubuh maupun jiwanya hanya karena embargo ekonomi karena dia telah tahu apa arti pemenuhan kebutuhan yang sebenarnya. Beliau telah menemukan dirinya tanpa harus takut kehilangan lagi karena orang lain mengambilnya karena sejatinya soliditas kepribadian yang mandiri tidak bisa direbut oleh siapapun.

Adakah saya memiliki semangat swadesi yang dulu pernah digembar-gemborkan pada masa kecil? Bagaimana seandainya saya terpaksa tidak bisa lagi makan kecuali makan singkong bakar? Bagaimana kalau ternyata suatu saat saya tidak bisa lagi makan Australian beef? Bagaimana seandainya Brazil tak bisa lagi menyuplai kebutuhan kedelai kita? Bagaimana jika suatu saat film-film Hollywood tak lagi diputar? Bagaimana kalau suatu saat saya memang harus bekerja untuk kebutuhan sendiri? Sudah siapkah saya menyandang predikat swa? Kita pernah berhasil dengan swasembada beras bertahun lalu. Kita pernah berhasil dengan swadaya masyarakat sebagai perwujudan gotong-royong. Kita pernah nyaris dapat mempertahankannya sebagai karakter sampai akhirnya kita tersadar bahwa telah melupakan sebuah “baut kecil” yang hilang dalam semangat swadesi kita yaitu: tidak selaras dengan alam.

Kita ber-swa dengan cara mengeksploitasi alam. Kita ber-swa dengan cara memaksa makhluk NON-MANUSIA untuk mencukupi kita. Belum berswadesi. Kita tak bisa berbagi dengan sesama ciptaan.

Kembali lagi kepada swadesi masa kecil saya. Mengapa batik? Apa bedanya batik dulu dan batik sekarang? Mari kita renungkan bersama.

Pada saat itu saya tidak pernah menyadari bahwa batik adalah “milik saya”. Batik adalah semangat saya sehingga perlu saya pakai sebagai seragam sekolah. Batik adalah identitas saya sebagai orang Indonesia. Saya masih ingat juga Dik Nanik dan Dik Tutik memakai batik hasil JAHITAN TANGAN emaknya yang bahan bajunya adalah KAIN PANJANG embahnya. Subhanallah. Itulah batik kami di masa lalu.

Batik masa kini? Saya ikut berbahagia karena batik menjadi semacam produk yang fashionable. Bahkan Nelson Mandela pun menggemarinya dan memakainya pada acara-acara penting. Namun saya ragu apakah kita masih mau berpikir tentang sebuah esensi memakai batik dan bukan pakaian lain. Masihkah kita mau memakai batik jikalau batik tak lagi menjadi trend sekalipun. Masihkah kita makan nasi Padang atau nasi timbel Sunda atau nasi pecel Madiun yang sehat jika ternyata makanan cepat saji ala barat lebih mudah dan tidak ribet?

Saya ingat Muhammad di Jazirah Arab, Mahatma di India, para sunan yang berkelana di tanah Jawa, Dalai Lama di Tibet, Romo Mangun di Jogja, Pak Joko dosen HI Unair yang kendaraannya adalah sepeda mini sederhana, Pak Budidharma dosen Filsafat Unair yang sangat bersahaja, Pak Sumitro dan pak Shahab dosen Sastra Unair yang lebih memilih kereta daripada mobil untuk berkendara. Mereka pengusung swadesi di tiap-tiap masa dan area
nya. Saya tidak tahu apakah saya terlalu mengada-ada. Yang saya rasakan saat ini adalah bahwa saya sangat rindu hidup secara bersahaja namun penuh harga diri baik sebagai seorang pribadi maupun sebagai anggota keluarga yang bernama Nusantara.

13 thoughts on “SWADESI

  1. ohtrie said: Milang kori_ne kapan ..?

    Milang iku yo ngitung to…? Yo sing dietung kuwi kori, mesthi ya akeh buanget… Nganti ra etungan cacahe…. (kuwi nek ra salah lho, jare Bapakku mbiyen sih…)Sik tak tinggal, aq arep nang Kantor kompetisi voley, Agustusan yo Jeng…!!!Lewat ngarepanmu koq Jeng Jl Pengayoman /4an PLN kono…! Arep melu po…!Tak ampiri wis…Nuwun…!!!

    Like

Leave a comment