HIDUP UNTUK MAKAN, MAKAN UNTUK HIDUP

HIDUP UNTUK MAKAN, MAKAN UNTUK HIDUP

Sering kali kita sangat gusar dalam keadaan lapar. Lapar menjadi sangat berharga sehingga apapun akan kita carikan alasan asalkan kita bisa mengusir rasa lapar tersebut.

Sejak usia es de saya telah terbiasa dengan ungkapan “makan untuk hidup dan bukan hidup untuk makan”. Ibu saya selalu berpean untuk makan secukupnya, tidak melebihi apa yang membuat saya cukup kenyang dan kuat untuk beraktivitas. Mulanya saya protes kira-kira sampai usia es em a. Setelah usia kuliah hingga saat ini, saya merasakan bahwa makan banyak tidak membuat saya makin kenyang tapi makin lapar.

Setelah bekerja apalagi. Makan minum sebebasnya gak masalah karena tidak minta siapa-siapa kecuali pada Allah untuk memberikan rejeki lebih. Namun itung punya itung bersikap ekonomis dalam makan lebih baik biar bisa beli lebih banyak buku atau bagi-bagi dikit pada yang butuh (Mang Kosim dkk sahabat saya euy).

Hari Kamis lalu di kantor saya berdebat kecil dengan seorang teman kerja “disaksikan” oleh teman-teman lain yang keheranan kenapa tumben-tumbennya saya mendebat beliau yang biasanya tidak digubris oleh siapapun kalau sudah ngomongin tentang hal ini.

Nes

:

Makan yuk.

Rike

:

Nanti.

Nes

:

Kamu kalau ditawari makan selalu nanti.

Rike

:

Iya. Ini kerjaan belum selesai.

Nes

:

Nanti aja lanjutkan lagi.

Rike

:

Kamu duluan aja ya.

Nes

:

By the way, ada tamu dari LA kok gak ada acara makan-makan sih?

Rike

:

Ya tanya aja sama boss ada lunch keluar gak.

Nes adalah seorang teman yang punya julukan rahasia “the maruk princess”. Cantik, sexy dan baik tapi kalau udah ada makanan tidak pernah ingat bahwa sesama cacing di perut teman-teman masih berdemonstrasi. Pernah suatu saat Pak Eko harus ngumpetin makanan setelah sang putri ngembat jatah dobel.

Nes

:

Gak lah. Tiap ada tamu biasanya kan lunch out kok sekarang gak. Payah.

Rike

:

Itu kamu juga udah bawa makan
an.

Nes

:

Ya kan apa salahnya makan keluar lagi.

Rike

(mulai gerah)

:

Aku sih Nes, kalau boleh minta sama Allah aku akan minta diberi satu kesempatan makan dan tidak perlu makan lagi. Sekali makan kenyang, sehat, puas selebihnya makan hanya untuk syarat aja.

Nes

:

Mana ada begitu? Kalau aku sih maunya makan terus biar bisa merasakan nikmat, enak. Rugi kamu hidup gak makan. Makanya aku kan suka banget pergi pesta. Makanannya enak-enak.

Rike

:

Aku makan untuk hidup bukannya hidup untuk makan.

Nes

:

Makan memang untuk hidup tapi hidup juga untuk makan. Bisa mati kalau gak makan.

Rike

:

Iya d
eh sana makan.

Nes

:

Kamu kalau makan sekali langsung kenyang seumur hidup berarti kamu bisa kayak dewa.

Saya diamkan saja karena ini bakal panjang seperti biasanya. Daripada kepala panas mendingan saya pura-pura budheg (Bahasa Jawa, tuli) saja.

Nes

:

Blah blah blah blah

Saya tidak menimpali sampai akhirnya saya keluar ruangan untuk menghirup udara segar karena memang ini bukan kali pertama saya harus menghadapi seseorang yang berceloteh manja memamerkan pengalaman makan enak dan banyak berlimpah di hotel mewah.

Saya ingat kata-kata ibu saya ketika dulu saya tidak mau berbagi dengan anak-anak tetangga yang perekonomiannya kurang sehingga untuk makan saja mereka harus membuat jadwal: nasi jagung – nasi beras – tiwul – ubi jalar – garut.

Sekarang saya tinggal jauh di ujung kulon berteman dengan orang-orang yang tidak pernah merasakan bagaimana susahnya menelan makanan sementara di sampingnya seorang teman kesulitan menelan ludah karena kelaparan. Saat-saat tertentu juga saya harus menikmati kelezatan dan keberlimpahan yang tak dapat ditolak; bukannya munafik tapi kadang saya tidak bisa benar-benar menikmati karunia ini.

Tiap pulang dari makan-makan dengan teman-teman atau client, saya selalu bercerita pada ibu saya dan mengatakan padanya bahwa saya ingat sama si ini dan si itu waktu makan tadi.

Ibu saya hanya tertawa lalu berujar, “Ya sudahlah, bersyukur saja, bahwa kita ini tidak dicoba dengan kelaparan. Kita dicoba dengan yang lain yang mereka tidak sempat memikirkan bahwa hal itu bisa menjadi cobaan hidup. Mungkin mereka juga gak nyangka bahwa kamu ketakutan juga kehilangan uang sedangkan mereka cuek saja wong gak punya duit. Yang penting berbagilah dengan ikhlash.”

Saya berpikir ulang bahwa rasa lapar teman saya Nes mungkin hanya sebatas rasa lapar tingkat rendah. Namun ada lagi rasa lapar species berbeda yang terselip di hati lain. Rasa lapar akan pujian, rasa lapar akan harta, rasa lapar akan kekuasaan dan rasa lapar terhadap hal-hal lain. Rasa lapar itu tak lagi menjadi rasa lapar namun telah menjelma menjadi keserakahan. Kalau Pak Eko bisa ngumpetin kue moci dari Nes, apa yang bisa kita umpetin dari orang-orang di sekitar kita yang ingin melahap pujian dari kita, harta kita, tenaga kita, kelemahan kita? Yang ada hanya rasa takut terjajah atau rasa muak atau bisa saja kita terinfeksi penyakit itu…

Semoga kita diberi kekuatan untuk mengatur kebutuhan kita dan memenuhinya sewajarnya. Jika lapar, makanlah secukupnya. Beri dan harapkan pujian secukupnya. Harta, miliki sewajarnya. Kekuasaan, jangan sampai membuat kita abusing others.

Apapun rasa lapar yang kita rasakan, niatkan pemenuhannya hanya untuk memuliakan hidup bukan untuk melanggengkan hidup.

20 thoughts on “HIDUP UNTUK MAKAN, MAKAN UNTUK HIDUP

  1. bundel said: Bagus banget untuk mengingatkan saya yang masih “kelaparan”………kekekek…….. maklum kok hidup rasanya serba ngak ada batas puasnya ya?Matur nuwun nak.

    pokoke mangan ora mangan kumpUUL…….

    Like

Leave a comment