
30 hari rumah tuaku telanjang di hadapan Bulan Sang Pengelana
Di masa terkering tahun bulan terhenyakku karena bebunyian yang sontak mengurut dada sunyiku. Mendobrak gudang tuaku memanggil-panggil nama diriku. Siapa diluar? Aku tak sedang mau menyambut tamu, seruku.
Wahai, tuan rumah, mana kesopanan dan adabmu? Malulah kau mengusirku. Aku lelah melewati tiap pintu dan mengetuk semuanya. Tidakkah kau punya tempat berteduh bagi bulan pengembara ini?
Hai, musafir. Rumahku tua dan tak terjaga. Untuk apa kutampung pengunjung yang akan menghinanya? Biarlah kau cari pintu yang lain dan mengetuknya tanpa kecewa.
Duhai, rumahmu renta. Wahai, pintumu lapuk. Adakah kau juga tak berbaju? Jika ya, aku tahu kau malu tanpa busana. Tak mengapa. Mataku buta, ku hanya ‘kan mengindera bisikan bayu, ku hanya ‘kan melihat kobaran pelita… di matamu.
Hai, pengelana. Masuklah. Rumah tuaku menerimamu, yang tahu aku tak punya apa-apa. Cuma percikan api mentari yang membungkusku. Berapa lama kau akan tinggal di rumah tuaku ini?
Terima kasih… 29 atau 30 hari lamanya. Biar kugelar tikar pandanku. Ku ‘kan duduk bersila menonton kau menari di rumah tuamu.
Amboi! Musim panasku membara di genggaman penguasa kemarau yang akan melihat rumah tuaku menari telanjang tak pedulikan jubahnya.
Marhabaan ya Ramadhaan…
Iya memang kukuruyuk sekarang tulisannya………… (maksudnya makin jago).
LikeLike
kukuruyuk, kukuruyukjago euy ha ha ha… masih belajar Mbak Anggit. makasih support-nya. i love to be with you all guys 🙂
LikeLike