TAKUT BERBEDA ATAU TAKUT SAMA?
Semakin tua usia, semakin banyak pertanyaan meletup-letup di kepala saya seperti lapangan penuh kawah lumpur yang bergantian memuntahkan rebusan dari dasarnya. Ada yang kecil, ada yang besar, ada yang sedang-sedang saja. Ada yang bersuara, ada yang lembut, ada juga yang tertahan. Ada yang melejit tinggi, ada yang meluber ke segala arah, ada juga yang tertahan sebelum meledak. Duh, pertanyaan-pertanyaanku ini memenuhi arena belajarku.
Akhir-akhir ini kucurigai ketakutanku bahwa aku tidak lagi mampu menghidupkan kehidupan pikiranku yang selama ini menjadi energi terbesar untuk menjadi aku yang sekarang ini. Aku mulai tak punya nyali bertanya.
Ada beberapa pihak yang kurasakan sedang berusaha mematikan potensiku dengan jalan menggembosi semangatku untuk membuka diri terhadap segala keniscayaan Yang Benar. Ada lagi pihak lain yang ingin membelokkan niatan saya: dari menyibak tirai menjadi merobek tirai, keduanya bertujuan sama (membuka tabir) tapi berefek beda. Ada juga yang tetap percaya diri menemani saya seperti induk burung melepas anak-anaknya terbang tanpa sekolah. Terima kasih semua.
Saya sedang memilah kebenaran… saya tahu itu. Dianggap salah oleh sebagian pihak… saya tahu itu. Dinilai berlebihan dalam membuka pikiran saya… saya sadar itu. Pendeknya saya sedang berevolusi secara spiritual dalam keadaan sadar tidak dibawah pengaruh siapapun dan reaksi sekitar sungguh beragam: positif, negatif, netral.
Dus, ketakutan itu bukanlah bahwa saya menjadi sendiri diantara belantara tirai dan kegelapan melainkan sendiri dan kesepian karena tak lagi mampu memantik api abadi yang seharusnya menyala terus sampai akhirnya cahaya ini mesti berkelana kepada Sang Sumber; layaknya Gadis Korek Api mati kedinginan kehabisan batang korek api yang memercikkan api penghangat tubuhnya. Mati sendirian, kedinginan sementara orang-orang berpesta di depan perapiannya.
Ketakutan ini wujud ragam kebingungan: apakah takut sama ataukah takut berbeda?
Apakah takut sama?
Siapa yang tak bangga merasa unik dan istimewa? Menjadi manusia yang mumpuni, menjadi pribadi yang tak tersamai dalam artian punya pencapaian yang tak biasa. Apa keinginanku? Aku ingin orang mengenalku tanpa terkenal, aku ingin orang menghargaiku tanpa aku harus membului diriku dengan bulu mereka. Intinya aku tak ingin menjadi biasa-biasa saja karena menjadi biasa berarti tidak menjadi apa-apa. Ini wajar tetapi ternyata kemungkinan justru sebaliknya.
Apakah takut berbeda?
Alangkah sedihnya menjadi orang yang tak dianggap pantas menyatu dalam suatu sistem sedangkan sistem itu sedang memuatnya. Seakan menjadi kucing yang sejak lahir hidup bersama kawanan macan, diasuh oleh induk macan bersama-sama gogor-gogor (anak-anak macan, Bahasa Jawa) saudara angkatnya. Ketika mereka tahu aku bukan macan, apakah mereka akan memakanku atau mempermainkanku seperti kucing membolak-balik tikus yang klenger dibawah tangkapannya?
Apakah aku takut?
Inilah pertanyaan sebenarnya. Dan saya masih belum punya jawabannya.
Keramat, 8 Februari 2010 – 11:05 malam
Keramat ki maksude ngendi ta mbak…?
LikeLike
Berarti dekat2 kuburan gitu lo Trek…
LikeLike
ih gituuuu,jadi ini puisi bau kembang no mBakkk…… mBak Rikeee, bukan aku ya yang bilanggg… mBak Irma suspected nya lhooo..!!!
LikeLike
Hi…hi..hi…ndak apa2. Rike kan ce-es-an sama aku.
LikeLike
wooooo, ndak tahunya kong kalikong taaaa….was yaaa……!!!
LikeLike
oalah… iki ngono dalan sing disebut karo Susana pas dadi kuntianak trus ditakoni tukang angkot.Tukang Angkot: turun mana?Susana: Gang Keramat, Bang wakakakakakakakaaaaaaaaaaaaaaaak
LikeLike
becuuul… ada sumur keramat di sebelah kiri jalan, kuburan di kana jalan ha ha ha ha
LikeLike
suspected? emange kriminalitas? *serang Mas Utroq*
LikeLike
setujuuuu!!! he he he
LikeLike
rasakno kowe, Trek *Mbak Irma mode on*
LikeLike
ngumpet sambil jongkok dibelakang mBak Irma, pegangan Rok……:)
LikeLike
leeeeee…. kowe pegangan opo ngintiiip. dasar bocah nakallll
LikeLike
bwahahahahah……malah diomongke sih mBak Rikeeee…….
LikeLike