PENIPUAN TERORGANISIR
Sejak bekerja di lapangan, saya ketemu hal-hal yang diluar ekspektasi bahkan diluar bayangan. Apapun yang selama ini saya anggap sesuatu yang wajar menjadi tak wajar lantaran mata saya melek semelek-meleknya terhadap hal yang cuma kuketahui secara tebak-tebak buah manggis.
Industri adalah kata kuncinya. Bertahun lamanya saya hanya menjadi konsumen yang nggak tahu apa dibalik apa, apa dibalik siapa, siapa dibalik apa dan siapa dibalik siapa. Beli barang, murah, titik. Tak terpikir biaya (terjemahan dari cost) yang keluar selama proses produksi.
Karena bukan orang pemasaran, saya nggak ngomongin biaya berupa uang. Biaya yang saya omongin adalah social cost yang ternyata membuat rahang saya jatuh (terjemahan dari falling jaw).
Ngobrol dengan sekurangnya lima belas buruh di pabrik setiap hari, membuatku serasa tidak tenang memakai baju merk tertentu lantaran biasanya biaya proses produksi (uang) ditekan serendah mungkin dengan merelokasikannya ke social cost yang artinya mengorbankan hak karyawan. Apa lagi kalau akhirnya yang terjadi adalah: lembur tidak dibayar atau dibayar kurang, UMR tidak dijamin, jamsostek tidak dibeli, cuti tidak diberi, tidak boleh ke toilet kecuali waktu tertentu, rela diteriakin oleh para ekspatriat (utamanya Korea) yang lagaknya sudah seperti centeng pasar (makanya aku suka bete kalau ada yang nge-fans banget sama produk Korea entah film atau yang lainnya he he he…), dan kenyataan-kenyataan lain yang mau tak mau membuat hati kebat-kebit setiap memasuki kawasan pabrik tertentu yang udah “langganan” melanggar ketentuan yang berlaku.
Jangan dikira semua praktik tersebut dengan mudah ditemukan karena biasanya pelanggaran-pelanggaran tersebut telah disusun dan disembunyikan dengan rapi. Semua pihak “diharapkan” mendukung hal ini termasuk karyawan produksi sebagai “sol sepatu” karena kalau tidak, “Orderenya bisa tidak turuneee kalau banyak findingnya… Nanti karyawannya tidak bisa dapat kerjanyaaa, uang dari mana untuk anak sekolah…”. Itu masih cukup ramah.
Bayangkan kalau Anda menjadi buruh pabrik dan dipaksa untuk berbohong dan kalau tidak dikeluarkan. Kalau Anda dikeluarkan dari tempat kerja, mungkin masih bisa memutar otak mencari tempat kerja baru atau membuka bisnis dari uang pesangon. Kalau mereka? Bisa-bisa dikeluarkan juga tanpa pesangon, belum lagi harus menanggung susahnya nyari kerjaan baru.
Yah itulah sekelumit kisah tentang bi-partite (perusahaan dan karyawan) yang disalahgunakan keberadaannya – bahu-membahu menyembunyikan kebusukan otak top management yang kemaruk keuntungan buat disetor pada owner. Masih banyak lagi borok yang kalau diceritakan bisa menjadi sebuah novel.
Sebut saja karyawan yang berani curhat “Ibu, saya dikatain anjing, goblog, tai dan kata-kata lain ama supervisor padahal palingan salah jahit bisa dipermak, permak juga kagak dibayar lembur saya mau. Tadinya saya kagak tahu soalnya dia pakai bahasa sono, lama-lama saya tahu itu artinya anjing dan kata-kata buruk lain. Saya mah kagak betah tapi belon ada kerjaan lain…”
Terima kasih, Tuhan… Telah mengantarku ke pekerjaan ini sehingga ku tak mesti bangga tatkala memakai baju ber-merk terkenal. Sekarang saya sedang rajin memakai baju yang dijahit oleh penjahit yang kubayar dengan layak; walau kain bahannya belum tentu terjamin dibuat di pabrik yang memanusiakan manusia atau tidak. Paling tidak inilah bentuk keprihatinanku pada kebobrokan praktik industri dunia dan pengurangan resiko menginjak tengkuk karyawan produksi.
Semoga keadaan semakin membaik… Amin
Balaraja, 3 Juni 2011 – 12:18 siang
Kalau gak ditipu, gak rame.
LikeLike
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, jadi ingat flm dokumenternya John Pilger, The New Rulers
LikeLike
Sama …Di Vietnam konon lebih parah lagi eksploitasinya. Mereka nyaris tidak pernah melihat sinar matahari.
LikeLike
gitu ya mas, gak sehat dong mereka .. padahal sudah lepas dari penjajahan Amerika
LikeLike
begitulah nasib negara dunia ketiga…
LikeLike
sama aku juga sebel sama korea2an itu…padahal kalo mereka jual produk yang langsung dari sana, mahalnya naujubilah dwehhhhh
LikeLike
Hmm…ternyata tidak sedikit ya perusahaan yg tipu kanan tipu kiri untuk dpt untung yang sangat tinggi.. Apalagi masalah AMDAL. Orang2 yg berwenang mengecek dg mudahx dibungkam dengan uang. Sepertinya ini sudah menjadi rahasia umum… Tfs
LikeLike
iya… rame beneran deh, pon sampai yang wawancara ngamuk-ngamuk sama HRD segala ha ha ha
LikeLike
wah belum nonton film-nya tuh, kalau ngeri mending saya nggak nonton aja….
LikeLike
mengenaskan sekali nasibnya…. 😦
LikeLike
ujung-ujungnya ya kepada para buyer yang nggak mau mbayar mahal tapi mintanya macem-macem…
LikeLike
mesakake sing ora berpendidikan, dipress terus sampai penyet, Mbak Ari… 😦
LikeLike
becuuuul… ada juga nih, Mbak… satu buyer per piece mbayar ke pabrik $1, dia njualnya di toko sampai mencapai $50… duh… mahalnya…
LikeLike
regulasi kita yang bertanggungjawab siapa, lha wong plinplan juga…yang jadi korban rakyat kecil terus jadinya…
LikeLike
Wah, udah bukan serem lagi mbak, kalau minat nonton ada di Youtube
LikeLike
aku suka gak tega kalo beli baju di pasar trus di tawar ampe rendah banget harganya. utk sepatu, aku pesen langsung ke toko sepatu temenku yg buat sepatunya langsung di deket tmpt jualannya (yah walaupun aku gak tau gmn dgn org2 yg kerja di pabrik solnya). setidaknya mengurangi penipuan thdp 3 karyawan pabrik lah…
LikeLike
dokumen AMDAL, UPL/UKL, pendaftaran PKWT, pengesahan ini dan itu… tak mungkin tak pakai uang… duh mak… biaya siluman bikin tenaga kerja kita makin digenjet…
LikeLike
susah betul mencari yang konsisten… aku berusaha konsisten untuk konsisten 😦
LikeLike
setuju menggalakkan program Cinta Ploduk-ploduk Indonesia….
LikeLike