IBU YANG DUDUK DI SEBELAH SAYA

IBU YANG DUDUK DI SEBELAH SAYA

Berangkat kerja kemarin pagi, saya seperi biasa mengambil tempat duduk dekat jendela. Saya hampir pasti selalu mendapat kehormatan untuk mejadi penumpang pertama atau kedua. Setelah bus terisi sekitar seprtiganya, seorang ibu menghempaskan dirinya di sebelah kiri saya. Rambutnya berombak dengan uban menghiasi. Si ibu tampak muram, tanpa senyum di bibirnya yang dipulas dengan warna merah lembut.

Sejenak menempelkan tubuhnya pada saya, tak lama kemudian bergeser ke bangku terpinggir dekat gang. Mungkin karena AC yang deras menyiram tubuhnya. Lalu dengan segera saya dorong tingkap lubang AC dengan buku yang sedang saya baca. Dan, benar, dia kembali duduk tepat di sebelah saya sambil kemudian mengoleskan minyak angin ke sekujur lehernya. Masuk angin.

Si ibu tampak sangat tidak tenang. Menengok ke kiri dan ke kanan tak hentin-henti. Kadang saya sengaja menyadari si ibu ikut mengintip Leo Tolstoy yang sedang saya baca. Saya buka lebar-lebar halaman supaya pandangannya tak terganggu dan lebih mudah membacanya tapi malah kuperhatikan dia palingkan wajahnya. Begitu seterusnya.

Saya makin merasakan ada seseorang yang memperhatikan saya. Siapa lagi kalau bukan si ibu. Saya jagi agak bingung. Dan dari ekor mata saya, dia tahu pandangan matanya tak berkedip. Berminyakkah wajah saya? Segera saya ambil kertas minyak dan menekankannya pada hidung dan bukit pipi saya. Dia melengos lagi.

Merasa tak nyaman membaca, saya masukkan buku ke dalam tas lalu mencoba menulis di telepon genggam saya. Saya merasa terbebas sejenak tapi kaki yang bergoyang-goyang membuat saya tak nyaman. Ternyata si ibu sedang menggoyang-goyangkan kakinya sehingga saya dan orang mengapitnya sontak mengarahkan pandangan pada si ibu. Saya tersenyum. Mbak sebelah kirinya juga tersnyum. Goyangan kaki dihentikan. Matanya dipejamkan.

Begitu lagi. Menengok ke kiri dan ke kanan. Menggoyang-goyang kaki dan memerhatikan wajah saya. Mungkin wajah saya mirip dengan seseorang yang dia kenal. Dan rasa penasaran segera merambati benak saya dan berniatlah saya memperhatikan si ibu aneh ini.

Celana hitam bahan katun tak baru lagi. Blus hijau tosca lengan pendeknya berhias bordia minimalis di daerah krah V modifikasi lekuk-lekuk, berbahan garment kaos kualitas sedang. Tak ada aksesoris kecuali ceplik (giwang, Bahawa Jawa) emas bulat di cuping telinga, jam tangan analog bulat warna perak di pergelangan kiri gemuknya. Sandal jepit hitam bertali biru. Sebuah tas tangan bertali panjang warna hitam dia pangku dan terlihat dipegan erat sekali.

Kegelisahan adalah hiasan terkuat si ibu saat ini. Minyak angin dioleskan lagi. Wangi White Musk dari The Body Shop saya tertindas aroma mint minyak cap Kapak sang ibu. Kakinya digoyangkan keras dan kudengar desah keras mbak di sebelah kiri ibu yang sedang mencoba memejamkan matanya menikmati macet pagi Kebun Jeruk.

Saya beranikan diri menyapa,”Mau kemana, Ibu?”

“Apaan? Ke Slipi”.

Waduh, waduh… Saya jadi nggak enak. Mau ramah ternyata salah orang. Sejak itu mulutnya makin memberengut dan tak sekalipun menatap saya sampai akhirnya dia turun di Slipi.

Mbak yang duduk di sebelah kiri saya menghembuskan napas lega sambil tersenyum pada saya lalu tidur dengan posisi duduk yang lebih santai setelah sekitar satu jam menekuk kaki menghindari goncangan kaki si ibu.

Saya memandang keluar jendela mencari-cari sosok si ibu dan melihatnya naik ojek ke arah Tanah Abang.

Mungkin saya cantik dan ingin mengagumi kecantikan ini. J Atau penampilan saya kurang berkenan di matanya. Atau saya seperti tukang copet yang harus dia awasi karen
a dia membawa uang banyak untuk beli dagangan di Tanah Abang? Atau dia melihat baju saya bermanset rajutan yang unik ini? Atau apa ya?

Kadang alasan seseorang melakukan sesuatu sama sekali tidak match dengan apa yang kita pikirkan dengan keras. Ini dia mengapa sulit rasanya berpikiran positif lantaran apa yang menurut orang lain wajar menjadi tidak wajar karena berbagai jenis kesenjangan. Kesenjangan budaya, kesenjangan usia, kesenjangan sosial, kesenjangan ekonomi, kesenjangan politik, kesenjangan dll.

Sesampai di kantor saya segera mencari cermin dan segera mencari apa yang tak beres di wajah saya dan ketika “si orang bijak” datang, saya segera bercerita dan “si orang bijak” ini hanya berkata.

“Biarkan saja.”

Apapun alasan orang melakukan sesuatu pada saya, biarkan. Selama tak merenggut identitas diri saya sebagai manusia tak mengapa. Kadang berpikir positif tidak selalu memerlukan alasan. Biarkan saja. Ya, biarkan saja.

28 thoughts on “IBU YANG DUDUK DI SEBELAH SAYA

  1. shandini said: dimana pun kita berada… pasti ada aja orang yg suka dan tidak suka sama kita…jangan terlalu dipikirin deeh…mikirin apa pikiran smua orang ke kita, wuiiih… cape deeh… xixixi…biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu… *ceileee… pake pribahasa oiii… kgk kuaaat… xixixi…*

    betul, Mbak. awalnya cuma merasa “kege-eran” dipandangi tanpa tahu sebabnya. mungkin kalau yang menatap saya itu Mas Keanu Reeves saya malah berpikiran positif ha ha ha…makasih nih masukannya 🙂

    Like

  2. jandra22 said: Ada! Saya tau! Itu lagu tahun 77-an waktu saya masih kuliah di PTN di Bandung.

    dimana pun kita berada… pasti ada aja orang yg suka dan tidak suka sama kita…jangan terlalu dipikirin deeh…mikirin apa pikiran smua orang ke kita, wuiiih… cape deeh… xixixi…biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu… *ceileee… pake pribahasa oiii… kgk kuaaat… xixixi…*

    Like

Leave a comment