BERKILO-KILO
Hidup tanpa beban masalah bagai sayur tanpa ampas. Bayangkan jika sup Anda hanya berupa kaldu berasa ayam dan bumbu tanpa ada sayur-mayur atau bahan lain mengambang dan/atau menyelam didalamnya. Alangkah lezat tapi tidak enaknya.
Kalau boleh berumpama, kadang hidup terasa mengantongi berkilo-kilo besi dalam perjalanan panjang. Ingin rasanya mengeluarkan semua tumpukan besi itu dan berjalan lempang ke arah terang namun apa daya berkilo-kilo besi itu memang bagian hidup.
Sempat saya berkhayal bagaimana seandainya disuruh mendukung kapas saja. Alangkah ringannya. Alangkah cepatnya perjalanan mencapai tujuan.
Siapa yang tak mau hidupnya enteng? Siapa yang tak mau bebannya diringankan? Siapa yang tak mau perjalanannya singkat dan lancar? Insya Allah, semua tak bakal menolak.
Tapi, segera kembali pikiran ini menggeletar. Berkilo-kilo besi di saku. Berkilo-kilo kapas di punggung. Mana yang mesti dipilih?
Sekarang saya merasa sedang menanggung berkilo-kilo besi di sekujur tubuh sembari mendamba menjadikan besi itu kapas saja. Rupanya saya telah berpikir tentang hal bodoh secara bodoh. Saya telah teken kontrak dengan kehidupan ini bahwa saya akan menanggung sekian kilo beban. Apapun beban itu berupa, beratnya pasti sesuai dengan kesanggupan yang saya tandatangani, sesuai dengan peran dan pilihan-pilihan yang saya tentukan.
Alangkah bodohnya saya. Apa bedanya berkilo-kilo besi dan berkilo-kilo kapas jika ternyata beratnya sama. Bahkan menurut saya berkilo-kilo besi jauh lebih ringkes (tak makan tempat, bahasa Jawa) daripada berkilo-kilo kapas yang pasti jauh lebih rowa (memakan tempat, Bahasa Jawa).
Apa jadinya kalau mesti mendukung berkilo-kilo kapas di punggung? Sudah lah berat, makan tempat pula.
Berarti menanggung berkilo-kilo besi ini jauh lebih patut disyukuri daripada mengharap kapas dengan berat yang sama.
Ah, namanya juga manusia. Maklum kalau angan-angannya sungguh tinggi walaupun kenyataannya apa yang dimilikinya telah pas dengan status dan posisinya.
Nggak ada pilihan lain kecuali nikmati saja. Ayo bersyukur yuuuk…
November 17, 2008
8:39pm
Ini yang sulit…
LikeLike
hayuuuk 🙂
LikeLike
bersyukur ditengah beban berat yang sedang dipikul ?hmmm..doain aq bisa ya mbak
LikeLike
mau nggak mauuu…
LikeLike
hayuuuk…
LikeLike
aku juga minta doanya. doa dan bersyukur bersama…
LikeLike
MENJADI IKHLAS MENANGGUNG SEGALA BEBAN? HAYO, SIAPA TAKUT!
LikeLike
semangat! ga bakal seru perjuangannya kalo kiloannya enteng… 😀
LikeLike
kula nyuwun dipun ajari, Tante 🙂
LikeLike
wadaaah… ini pasti biasa angkat beban ha ha ha…
LikeLike
saya nitip berkilo2 krupuk mbak..kayaknya bisa makan tempat sekamar tuh..
LikeLike
makasih titipannya. ntar aku buka kios krupuk sambel he he he…
LikeLike
mBak Rikee, koq lum bobok sih..?
LikeLike
kancilen je…
LikeLike
halah lha aqu malah timunen iki lho mBak…:)
LikeLike
jadi inget pelajaran esde dulu.. mana y lebih berat besi atau kapas? ;)tapi jauh lebih berat masalah kehidupan yang paling ringan tanpa rasa ikhlas dan syukur…yukkkk, belajar yukkk…TFS yaa te’ sayang 😉
LikeLike
nah iki aku wis nang sawah macul meneh, Mas!
LikeLike
kalau dilihat materinya semua milih kapas tapi begitu tahu beratnya sama ternyata sama saja he he he…sama-sama, kembar…
LikeLike
Hasil perenungan, Rieke?
LikeLike
ya bersyukur. memang kadang syukur itu datangnya belakangan.lebih baik terlambat dari pada kufur ya ms rike? huahaha
LikeLike
betul sekali, Mas.
LikeLike
tapi datangnya mesti diundang le soalnya Pak Syukur ini tamu terhormat he he he…
LikeLike
yah mudah2an pak syukur mang bener-benar tamu terhormat yg patut dihormati, bukan orang yang gila hormat padahal nggak terhormat kayak kebanyakan pemimpin negeri ini.hualah… *ra nyambung mode on*
LikeLike
iya, gak nyambung. gegar otak gara-gara tabrakan kali…
LikeLike