BERTEDUH DIBAWAH CEMARA
Hari makin larut
Di ujung jalan matahari tinggal menunggu gelap sempurna
Kakiku terhenti mengharap jeda
Sebuah batu ceper besar disiapkan bagi para pejalan yang kelelahan
Tepat di bawah cemara yang setia menggugurkan daunnya
Menjadi kasur empuk para pesinggahnya.
Cemara berdesau
Menyambutku dengan ceria,
Menyanyikan lagu diiringi siulan angin.
Cemara bercerita tentang orang-orang yang pernah tertidur
Lalu bangun melanjutkan perjalanan.
Cemara juga menggumamkan tempat-tempat mereka yang tak mau lagi melanjutkan perjalanan dan memilih tidur selamanya.
Kurapatkan selimutku
Angin begitu akrab dengan cemara
Mereka bercengkerama seakan tak peduli getirnya rasa beku
Yang menusuki kulit, daging dan tulangku yang makin renta.
Kain ini tak cukup tebal untuk melindungi badanku
Tapi masih juga kurapatkan sehingga badanku meringkuk kaku.
Aku kedinginan.
Malam tiba
Diiringi bintang-bintang dan bulan yang bergabung bersama angin
Menambahkan intrumen musik dibelakang lagu cemara.
Kisah-kisahnya ternyata tak hanya tentang kami para pengembara
Melainkan juga tentang dewa-dewi yang tersesat di hutan ini.
Tawa Mars dan Venus membuat cemara semakin bersemangat.
Badanku membatu
Tapi telinga dan jantungku tetap berfungsi.
Cerita cemara menyelusup ke dalam cuping kupingku lalu menghidupkan jantungku.
Kadang detaknya cepat, kadang tak bergairah.
Hanya karena cemara perasaanku bisa seperti ini?
Andai malam tak datang, aku tak bakal bergelung kaku disini.
Oh, Matahari
Segeralah terbit. Aku tak tahan cerita cemara.
Kudengar bintang-bin
tang riuh rendah menertawakan sebuah kisah.
Bulan tertawa lembut seperti seorang putri.
Angin tertawa hingga tersedak.
Mars dan Venus saling meledek membumbui berita.
Cemara…
Kisah apakah itu? Yang panjang tak membuat pendengarmu jemu?
Kurapatkan telingaku pada angin.
Biar kudengar dengan baik runtutannya.
Mereka berbicara tentang kaki yang katanya seperti sebatang kayu.
Mereka berbicara tentang rambutku yang seperti ijuk.
Mereka berbicara tentang tanganku yang seperti dahan.
Mereka berbicara tentang bibirku yang seperti rekahan tanah kering.
Mereka bicara tentang mataku yang seperti danau keruh.
Mereka bicara tentang punggungku yang seperti batu gunung.
Mereka bicara tentang hidungku yang seperti buah pir.
Mereka bicara, mereka bicara hanya tentang aku.
Semalaman.
Dan hanya memburukiku.
Cemara…
Mengapa kuberhenti disini?
Mengapa?
Hanya karena aku takut berjalan di malam hari.
Hanya karena kusangka perjalanan harus ditempuh saat siang.
Hanya karena aku merasa sendiri.
Cemara…
Kutarik selimutku
Kutarik semua ototku,
Kuterbangun
Membangunkan kau dan teman-temanmu dari gelak-tawamu.
Bergegas
Kulanjutkan perjalanan.
Mengejar matahari
Hingga bumi jadi persegi!!!
Selamat tinggal, cemara.
Telinga dan jantung ini masih milikku.
Jl. Syekh Yusuf – 19 Desember 2009 – 11:00 pagi
tepatnya..?
LikeLike
kuwi kan kampus UNIS he he he
LikeLike
walah alahhhh…..nang mburi pasar mBabagan ta mbakk, hihihi
LikeLike
lha iyo tooo…. mburine Pasar Babakan he he he… sampeyan ki kok apal tenan karo Tangerang…
LikeLike
hehehhee….piye nggak apal ta mBak, wong gaweane keliling ider sol sepatu kok….:))
LikeLike
lhah… jebuleee… liyane angon njenengan ternyata nge-sel yo ha ha ha
LikeLike
lah khan kudu pinter2 memqnfaatkan peluang taa…hihihi….sampean nduwe dagangan apa mbak….?Loh sik sik tak edhit sik mBak….jebule kuwi tulisane NGSEL ta mbak…bwaaaahhhhhhhh…. emange kon dadi siji karo Arthalytha paaaa….
LikeLike
ha ha ha ha….lha ning sel kan pueneeek… ono karaoke, arep facial yo kari ngundang. opo ora kepenak. mengko ternakmu kuwi gowo sisan mrono ben golek rambanan nang sel liyane ha ha ha…
LikeLike
good idea……paluk mBak Rikeee….:))
LikeLike