MBAK PECEL LELE GANG KERAMAT
Tadinya sih saya nggak begitu “ngeh” kalau ada pecel lele uenak di tempat itu sampai suatu hari saya sudah tidak punya ide mau makan atau masak apa. Saya “terpaksa” beli pecel lele sebagai sebentuk pengkhianatan saya terhadap usaha makan sehat alias makan rebus-rebusan saja dengan tujuan supaya tidak terkena penyakit yang berhubungan dengan lemak dan protein tinggi. Sejak itu saya bolak-balik aja beli lele goreng, tentunya kalai sedang benar-benar kelaparan.
Bahwa dia dan keluarga (suami dan satu anak) mesti tidur di sebuah ruko satu petak, bahwa dia harus bangun subuh dan tidur jam 2 malam, bahwa dia harus bekerja keras untuk ketemu bulan, bahwa dia punya cita-cita membesarkan anaknya dengan jauh lebih baik, bahwa dll. Si Mbak ini orangnya ramah sehingga kalau sudah ngomongin cita-citanya sampai saya lupa kalau perut saya lapar. Telinga saya yang merasa kenyang atau tepatnya tergelitik ingin mendengar lebih tentang kehidupan yang tak terpikirkan dalam keadaan normal.
Kadang saya mengeluh kenapa rumah saya kecil, panas, tak berperabot lengkap, tanpa fasilitas premium; kendaraan hanya sekedar motor matic; baju tidak bermerk kecuali beberapa yang merk-nya pun tak bisa dipamerkan kepada orang lain karena sungkan (wong melarat kok wani tuku klambi larang – orang miskin kok berani beli baju mahal); hutang juga segulu (mencekik leher, Bahasa Jawa); dan keluhan-keluhan yang secepat kilat habis disapu curhatan Mbak Pecel Lele Gang Keramat.
Hidup ini tak adil.
Tapi terpaksa aku mesti mengatasi ketakadilan ini. Ketakadilan ini buka semata ketimpangan. Ini adalah sebentuk keseimbangan hidup yang mau tak mau harus ditanggung oleh kita semua. Belajar bijak, saya berani mengatakan bahwa jagat raya ini berisi ketimpangan yang berkelindan membentuk harmonisasi. Siapa yang akan menyewa ruko Mbak Pecel Lele kalau semua orang kaya? Siapa yang akan makan pecel lele gang Keramat kalau semua orang makan di restoran Ritz Carlton? Siapa yang mendengarkan kalau semua orang ingin bercerita? Tak akan ada yang memahami jika keseragaman dipaksakan.
Maka sekarang lebih baik melihat sesuatu dengan mata terbuka, tanpa kacamata kuda yang terkendali kacamata tanpa lensa. Jika harus bersyukur ya bersyukurlah. Jika ingin mengeluh, mengeluhlah dengan elegan.
Mengeluh dengan elegan?
Tidak semua kegusaran mesti disampaiakan. Kadang ada yang perlu ditelan mentah-mentah sebagai airmata. Kegelisahan yang perlu dikomunikasikan demi sebuah solusi bagi maslah baik berupa jalan keluar atau releasing (pelepasang emosi) boleh lah dibagi. Tak ada yang tak punya masalah tetapi tak semua orang merasa perlu masalahnya terselesaiakan. Dan tak semua masalah mau diselesaikan dengan penguraian; beberapa bahkan puas dengan diendapkan.
Mbak Pecel Lele Gang Keramat telah membuat saya menyadari bahwa yang kurasakan hanya dunia kecil yang belum ditautkan dengan dunia lain. Jadi kuucapkan terima kasih kepada Sang Waktu yang telah mempertemukan aku dengan rasa lezat lele goreng Gang Keramat sehingga kesadaran ini muncul dan membuatku makin tenang dan terang benderang.
Salaam,
Rike
Penggilingan – Cakung
4 Juni 2010 – 2:36
meminyak ahh…kok nang penggilingan ki ngapa ya mBak..?
LikeLike
Lantas? Ah, sudahlah! Mari makan pecel!
LikeLike
kerjo…
LikeLike
pecel apa pecel lele?
LikeLike
kerja kok pindah pindeh mulukkkk….
LikeLike
iyooooo wong sing dikerjain dimana-mana ha ha ha
LikeLike
mbok aku melu mBakkkk…aku ngawula sampean wae wiss, ra papa kokk.. butuh oraa…???*tenan kii, aku meh balik kampung je nek ra ana gawean…
LikeLike
oalah… njenengan kiye…. wong aku ki yo buruh… kok arep mbok kawulani… lha opo ora angon kebo meneh po?
LikeLike
Wah, saya sudah kapok dengan cara mengendapkan masalah begini. Masalah malah tambah mbrundet karena nggak tersuarakan mbak. Lebih baik diurai dengan bercerita asal pinter-pinter curhatnya di mana.
LikeLike
setuju, Bunda…
LikeLike