NEGERI NYIUR HIJAU

NEGERI NYIUR HIJAU

(kekayaan yang bisa hilang)

Roti kelapa… Hmm.. sedap joooo. Rasanya gurih dan aroma kelapanya membuat lidah so bergoyang.

Tanggal 5 dan 6 April 2012 saya akhirnya menikmati indahnya Manado. Ee… dodo ee… Walau hanya mampu memandangi pulau Bunaken dari seberang lautan, rasanya sudah tergetar hati ini. Tersepona eh terpesona… Pagi jam 6:30 saya udah siap gerak ke arah Tumpaan dari Novotel Grand Kawanua setelah sarapan sedikit. Pak Joly, driver yang semalam sebelumnya mengantar saya dari bandara Sam Ratulangi juga telah nyanggong di parkiran sejak jam 6.

Sepanjang jalan ke tujuan, saya yang rencananya mau tidur malah melek sak jam (terbuka mata lebar-lebar ibarat jam dinding bulat, Bahasa Jawa Timuran). Jeprat-jepret tak peduli kecepatan tinggi mobil lari gambar gambar fokus jadi nggak fokus teap saja tak jepreti… Pohon kelapa yang jangkung menjulang tinggi semacam pengingat bahwa saya sedang menuju sebuah fasilitas pengolah kelapa.

Sampai tempat, saya diajak keliling-keliling area. Tumpukan kelapa tanpa serabut bertumpukan menanti diproses. Pabrik ini mengolah kelapa menjadi tepung (desiccated coconut) untuk diekspor ke negara-negara yang nggak punya kelapa atau nggak punya cukup kelapa untuk diolah.

Kemarinnya baru saja tercitra bahwa kelapa itu barang sepele; sejak melihat pemroses kelapa di Tumpaan itu berubahlah pikiran kerdil ini. Kelapa kita bisa menjadi sangat berharga seberharga kepala. Mana pernah terpikir sebelumnya bahwa orang-orang manca negara itu sangat bergantung pada kita dalam pembuatan sekeping kue kelapa. Tanpa tepung kelapa dari negara-negara seperti Indonesia ini lidah mereka tak kaya rasa.

Sedangkan kita disini? Tidak sedetik pun menyadari kekayaan alam yang nelecek (bertebaran, Bahasa Jawa) di lingkungan kita. Secuil syair lagi Koes Plus “tongkat kayu dan batu jadi tanaman” sangat tepat menggambarkan kekayaan alam Indonesia. Apa yang nggak tumbuh kalau ditancapkan atau dilemparkan ke tanah? Singkong, ubi jalar, talas, pisang, pepaya, beluntas, dll… Kalau mau menggarap kekayaan alam yang berlimpah ini tak mustahil kita kaya tanpa harus meniru rencana industri negara lain yang basisnya memang bukan kekayaan alamnya.

Saya membayangkan negeri ini menjadi negeri agraris yang tumbuh menjadi negara industri berbasis agraris bukan negeri agraris yang bergerak menjadi ladang subur pabrik para investor asing dengan bisnis garment, elektronik, footwear, dll sejenis produk yang tidak berkaitan langsung dengan agrikultur dan sebenarnya ditancapkan di Indonesia hanya dengan alasan harga tenaga manusia disini sangat murah. Ditambah lagi bahan mentah semua didatangkan dari negeri seberang, fasilitas pembantu juga merupakan pabrik-pabrik yang dimiliki oleh orang sono yang mencari tenaga terampil dengan harga murah.

Ayo dong… Anak bangsa… Mari dengan semangat cinta dan hati bahagia menggali potensi negeri indah permai kaya tapi kurang makmur ini; kalau kesannya terlalu cinta pada negeri sendiri kenapa tidak? Kalau orang RRC (Republik Rakyat Cina) boleh bangga setengah mati dengan budaya dan sejarahnya, kita juga bisa. Ayo mari bekerja. Jangan berpangku tangan, jangan bikin kecewa orang tua yang pernah nggadhang-nggadhang (menimang dengan penuh harapan, Bahasa Jawa) kita menjadi kebanggaan mereka.

Negeri ini kaya tapi kekayaan ini mulai ke
ropos karena tak dikenali oleh pemiliknya sendiri. Kekayaan alam ini sangat niscaya akan direnggut atau bahkan ditumpas oleh orang lain karena dianggap kurang berguna jika ada di tangan pemiliknya.

Putar otak, ayo putar otak biar jangan karatan. Kepala kita sangat berharga seperti juga kelapa yang diproses menjadi tepung lalu diekspor ke negara “miskin” sana.

Rumah kecil di bantaran kali Cisadane – 7 Maret 2012 – 2:30 siang

Oleh-oleh dari bumi Kawanua

18 thoughts on “NEGERI NYIUR HIJAU

  1. rikejokanan said: Bunda, memang jadi orang Indonesia dan tinggal di dalamnya benar-benar berkah. Pengalaman hidup lama atau mengunjungi negeri lain atau memahami bahwa kenyataan di negeri lain jauh lebih susah membuat kita makin bersyukur ya, Bun…Lha ming perkara kelapa aja mesthi ngidupin oven yang notabene mengonsumsi listrik; apa bukan rekasa tenan niku, Buuuun…Hidup Indonesia!!!

    Nah kuwi, Lil… Jo gelem saikiiii awake dhewe diplekotho… Wis kapusan atusan taun kok ijih urung paham… 😦

    Like

  2. rikejokanan said: Bunda, memang jadi orang Indonesia dan tinggal di dalamnya benar-benar berkah. Pengalaman hidup lama atau mengunjungi negeri lain atau memahami bahwa kenyataan di negeri lain jauh lebih susah membuat kita makin bersyukur ya, Bun…Lha ming perkara kelapa aja mesthi ngidupin oven yang notabene mengonsumsi listrik; apa bukan rekasa tenan niku, Buuuun…Hidup Indonesia!!!

    ana unen2, rakyat indonesia ki koyok tikus kelaparan ning lumbung parimandang sing ngerti ngelola malah dipasrahke wong londo sing mung isa ngeruk ae

    Like

Leave a reply to rikejokanan Cancel reply