BERANI BELAJAR, BELAJAR BERANI
Sejak hari pertama saya dilahirkan sebagai manusia melalui ibu saya, saya telah menjadi seorang makhluk pembelajar. Sadar atau tidak, saya telah menjadi murid daris eorang guru yang bernama semesta. Saya belajar bernapas dengan benar, menangis dengan benar, makan dengan benar, bermain dengan benar, bersosialisasi dengan benar dan tentunya satu hal terpenting adalah belajar belajar dengan benar.
Tak selamanya menjadi seorang pembelajar itu menyenangkan. Kadang saya merasa lebih baik tidak belajar sama sekali daripada harus menanggung rasa malu atau sakit tak terkira akibat posis sebagai pembelajar.
Saya telah menikmati udara dunia ini lebih dari seperempat abad. Saya telah melewati masa kanak-kanak, remaja dan dewasa saya jauh dari keluarga. Jika dihitung secara matematis, 75% hidup saya jauh dari orang tua. Bentukan makhluk mandiri itu berupa saya yang sekarang hanya memiliki dua pilihan dalam hidup: belajar secara mandiri dalam segala hal atau tidak survive sama sekali.
Berani belajar adalah sebuah tekad yang telah saya canangkan demi kelangsungan hidup saya yang kata teman-teman saya untuk sementara ini “solitary”. Apapun akan saya usahakan pelajari supaya saya tidak jatuh pada lubang yang sama. Apapun akan saya pikir dan analisis secara agak njelimet sehingga kadang merugikan diri sendiri. Tak heran 12 tahun lalu sepupu saya menyebut saya worry sister karena terlalu banyak mikir ini-itu sebelum melakukan sesuatu. Saya tak ingin hidup saya menggelinidng seperti bola bowling dihantam pelempar amatir. Saya ingin bola bowling saya meluncur cepat dan tepat sasaran menghantam dan menjatuhkan semua pin di ujung sana. Saya tak mau salah sasaran walaupun sesekali menggelindingnya masih melenceng kesana-sini.
Saya makhluk pembelajar yang tak mau berhenti hanya karena seorang atau banyak orang menentang saya. Kalau saya harus mundur itu semata karena memang saya harus belajar mundur BUKAN karena saya menyerah.
Namun saya punya sebuah jurus jita untuk mengimbangi worry yang datang seperti air bah sebagai akibat pancingan terlalu keras berpikir tersebut. Apakah itu?
Saya belajar berani. Saya tak takut dengan akibat perilaku saya karena saya telah memikirkan bahwa selalu ada resiko yang mesti ditanggung. Ada cost yang harus ditunaikan. Tidak ada yang gratis dalam hidup ini. Bahkan Tuhan “berjual-beli” dengan kita. Dalam bahasa Arab disebut tijaroh. Dalam agama saya, Allah SWT ditafsirkan membeli amal kita – ini hubungannya dengan motivasi terhadap pemeluk agama untuk berbuah baik dalam kehidupan di dunia sehingga tak merugi sebagai manusia.
Keberanian saya menguji cara belajar saya. Apakah saya berani menanggung malu jika saya mengaku sebagai pelajar di depan anak kecil yang ternyata mengajari saya belajar melupakan kesalahan temannya? Seorang lelaki balita bernama Isal segera berbaikan dengan teman kecil bernama Billy hanya beberapa detik setelah mereka berantem. Padahal saat itu saya berpikir bahwa Isal tak akan segera memaafkan Billy yang telah (saya yakin) dengan sengaja tapi tak tahu resikonya mencopot roda penyeimbang sebelah kiri sepeda kecil Isal. Aksi Billy menyebabkan sepeda Isal terlalu miring ke kiri.
Apakah saya berani belajar berani mengakui ketidakdewasaan saya menghadapi musibah orang lain dengan aksi cepat? Saya segera berkaca pada sepupu saya waktu kecil dulu. Mas Ongko suka sekali meludahi makanan di piringnya supaya tak seorang pun saudara kami yang lebih tua mengambil bagiannya. Fyi, sepupu-sepupu kami yang lebih tua itu jahilnya minta ampun… Suatu hari saya menghindari “musibah” berupa sepupu yang jauh lebih tua yang dengan kemaruk mencicipi makanan saya di piring dengan ganas sambil tertawa-tawa penuh kemenangan. Menconth Mas Ongko, saya segera meludahi makanan saya, sepupu tua saya itu berhenti tertawa menyadari kemarahan saya. Bukannya menghibur, dia malah kabur. Mas Ongko dengan sangat sabar memberikan makanannya yang masih bersih dan kemudian dengan tenang menghabiskan makanan saya yang sudah saya ludahi berkali-kali tadi. Halaaah… Dewasa sekali kamu Mas… Sedangkan sepupu tua tadi tak muncul bertanggung jawab.
Saya sedang mencari format hidup saya yang paling tepat sambil terus berjalan diantara belantara guru berupa semesta. Seperti Diagram Venn, saya bisa saja berganti semesta pembicaraan. Semesta pembicaraan saya b
isa meluas dan menyempit tergantung kodisi saya alami. Jika saya harus berapa pada sebuah lingkaran mandiri itu karena semata saya harus berpikir sendiri. Jika saya harus menjadi irisan itu semata saya harus bersifat netral, bukan mendua. Jika saya hanya diluar lingkaran, maka saya memagn harus tak terlibat pada konflik manapun.
Saya menikmati hidup ini dengan berani belajar dan belajar berani.
Ayo, ajari saya Sudara-Sudara dengan apapun yang membuat saya merayakan kemanusiaan saya.
Revised on September 21, 2008
You must be logged in to post a comment.