MUSA MENCARI HARUN?
Apakah aku ini seorang yang kesepian?
Aku tak tahu;
Apakah aku ini seorang pencari ilmu?
Aku juga tak tahu;
Apakah aku ini seorang pencinta?
Aku tak tahu;
Apakah aku ini seorang yang gagal?
Aku juga tak tahu;
Apakah aku ini seorang yang marah?
Sepertinya hanya itu yang kutahu.
Aku marah dan marah lagi.
Aku marah berulang kali.
Aku marah berlama-lama.
Tahan sekali kemarahanku?
Api di dadaku ini tak segera padam
Mungkin karena aku tak mau memadamkannya.
Aku bertarung melawan pemadam kemarahanku
Karena kukira api ini sumber segalanya.
Dengan api ini lingkaranku menjadi terang;
Dengan api ini aku merasa aman;
Dengan api ini aku melanjutkan hidupku;
Yang gontai menyeret langkah berat
Satu-satu.
Berpuluh bingkai kaca kudatangi
Kebertanya pada cermin-cermin itu
“Duhai Sang Cermin, apakah aku ini sesungguhnya?
Adakah yang lebih malang daripadaku?
Adakah yang lebih beruntung daripadaku?
Apakah akhir perjalananku?”
Cermin satu,
Cermin dua,
Cermin tiga,
Dan cermin yang lain-lainnya
Mereka menjawabku tanpa ampun;
Memantulkan apa yang mau mereka pantulkan;
Memantulkan apa yang mereka suka.
Kadang sesuatu yang tak sesungguhnya padaku ada
Kebohongan tentang diriku kah?
Bukan.
Itu sesuatu yang terpantul di retakan mereka.
Lalu kudapati kini cermin-cermin mungkin tak rata atau retak atau berdebu.
Ku ber-ja-lan.
Sekubangan air menghadangku
Menggodaku untuk berkaca
Karena segala yang mengkilat kukira memantulkan
Dan yang kutemukan pun hanya bayangan gelap tubuhku.
Kutersungkur.
Menangis.
Meraung.
Mencabiki kesadaranku
Yang belum juga terbit dari malamnya.
Lalu kutertidur lelah.
Mana oh manakah Harunku?
Atau jika beruntung kudapat Shofuraku?
Oh… datanglah Ibu Musa
Biar kumenyusu padanya,
Kemudian dikenalkan pada saudara perempuan dan
Saudara lelakiku yang kelak menjadi juru bicaraku.
Atau antarkanlah aku pada Nabi Syuaib.
Biarpun 10 masa aku mesti bekerja
Kuberharap itu ada.
Angka 10 begitu menggoda
Tetapi manakah dia?
Tertipukah aku?
Atau kesabaranku hanya sebanding Musa muda yang banyak tanya?
Hanya sekedar keluargaku dan keluarga Syuaib kah ujung pencarianku?
Atau aku berjalan lebih jauh lagi?
Aku tak mungkin menjadi Musa Sang Nabi dalam kitab.
Aku hanya ingin mengalami Musa yang bernubuwah.
Biarkan aku sampai di Gunung.
Biarkan aku diguyur Cahaya.
Biarkan aku berlidah kelu.
Biarkan aku pingsan.
Biarkan aku sejenak membuang asma dan sifat —melebur dalam wujudnya.
Jangan halangi.
Sedangkan kini aku baru sekedar Musa mencari Harun
Sehingga jika keberuntungan membawaku pada Nabi Syuaib, kuakan bertemu Shofura.
Keramat – 11 Desember 2009 – 9:00 malam
menyimak……
LikeLike
semakan Ten Commandments he he he
LikeLike
psttttt……pingin konsen dulu bacanyaa…..(hmm nahan tawa..!)
LikeLike
ning nek bali ke masa rasul bakal kena marah njenengan ora entuk belajar kitab taurat he he he…
LikeLike
duuhhhh bingung aku nek kudu nanggapi komentarf sampean iki je mBak…sensitip, hihihi…wis achhh……
LikeLike
wehhh… yo ojo digawe sensitif. ini kan era keterbukaan. masak orang kritis malah disiriki. kalau dianggap salah, sila diberi alternatif pemikiran yang lebih jernah. kalau dirasa benar, sila direnungi. kalau menakutkan, sila ditinggalkan. gampang tooo ha ha ha….digawe nyantai ae, Mas…
LikeLike
sip gann… setubuhhh…..mung sing bisa ndemokrasi nang ngalam demokrasi iki isih durung akeh je mbak….(nunjuk hidung ndiri aja yaa.. hihi)
LikeLike
awas irunge ono upile ora ha ha ha
LikeLike
wis ilang, ntas ngupil sedari pagi kokkk….:))
LikeLike