17 AGUSTUS 2008
(tak terlalu penting, hanya omong kosong)
Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang keberapa tahun ini? Mungkin masih cukup banyak yang menjawab pertanyaan ini tanpa harus berpikir. Namun ternyata tidak sedikit pula yang menjawab dengan menerawang menghitung dulu atau bahkan ada yang tertawa-tawa geli sambil menjawab “Aduh, gue lupa tuh, Rike. Keberapa sih? Enampuluhan gitu deeeeeh. Lu nasionalis banget sih??? Ha ha ha… Hari gini…”
Jujur saja, saya juga masih perlu menghitung; 2008 – 1945 = 63 tahun
63 tahun kita berjalan dari titik tolak yang disebut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustu 1945. Pada saat itu kata Indonesia telah diakui sebagai sebuah nama wilayah, bangsa, kesatuan kedaulatan yang diinterpretasikan sebagai negara. Patut bersyukur bahwa kita mendapatkannya. Masalah bagaimana ngramut (memelihara, Bahasa Jawa) itu urusan keri (belakangan, Bahasa Jawa).
Membincangkan kata merdeka bukan lagi hal menarik karena definisinya bisa panjang dari range yang paling positif sampai dengan negatif; dua ekstrim yang akan selamanya ada dan tidak perlu membuat kita risau. Saya ingin membicarakan sesuatu yang agak lain. Yaitu renungan saya.
Tadi malam saya menyempatkan diri mengadakan RENUNGAN PRIBADI setelah menyaksikan ke-63 tahunnya usia Republik ini. Saya melakukannya sebagai seorang yang TIDAK menguasai sejarah. Saya melakukannya sebagai seorang rakyat jelata yang memandang dirinya kurang beruntung hidup dalam alam politik yang agak kurang kondusif sekaligus sangat beruntung karena dilahirkan dalam kondisi yang biasa-biasa saja. Saya hidup di alam yang penuh bias namun tetap berjuang menetapkan keadilan bersikap yang dilandasi keseimbangan dalam berpikir.
Apa yang saya dapatkan dalam proses merenung tersebut Sudaraku tercinta?
Saya bersedih karena ternyata saya masih terjajah oleh keinginan yang sebenarnya bukan benar-benar dilandasi oleh semangat untuk menjadi melainkan oleh semangat untuk memiliki. Saya masih berharap ini dan itu karena semata-mata ingin, bukan karena butuh. Saya berdoa karena menganggap bahwa keinginan saya belum terakomodir oleh Sang Murbeng Dumadi (Sang Pencipta, bahasa Jawa). Saya juga menganggap bahwa para pemimpin (maksud saya POLITIKUS) Indonesia masih menganggap bahwa yang namanya pembangunan adalah terwujudnya ide-ide mereka walaupun sebenarnya TIDAK BERMANFAAT UNTUK KHALAYAK RAMAI DALAM JANGKA WAKTU YANG PANJANG.
Saya juga masih punya rasa malu dan gengsi menjadi warga negara kelas embuh (tidak tahu, Bahasa jawa), ini karena semata-mata saya minder mengetahui bahwa saya ini warga negara kelas bebek. Saya ngikut aja kemana arus mengalir. Bukan karena apa-apa Sudara-Sudara. Ini semata karena saya tak bisa berenang dengan baik. Saya ini hanya semacam buih yang kelihatan semarak namun mudah terombang-ambing oleh gelombang. Saya belum bisa menjadi gelombang. Alih-alih menentang arus, yang ada malah menjadi bahan tertawaan karena miskin ilmu dan miskin kepribadian.
Saya kemudian mulai berpikir ulang. Buat apa saya berdoa kalau ternyata doa saya bukan esensi dari kebutuhan jiwa saya yang jujur. Saya meminta karena saya ingin bukan karena tergerak oleh kearifan jiwa menyikapi kebutuhannya. Saya pernah berdoa “Ya Allah, saya mau kaya supaya bisa berbagi dengan keluarga dan orang-orang yang memerlukan” padahal saya tahu bahwa denganberamal dalam kondisi sekarang saya akan tetap miskin – tidak akan menjadi jatuh miskin – sebab sejatinya saya tidak punya apa-apa. Saya juga pernah berdoa “Ya Allah, menangkanlah partai politik ini biar negara ini diurus oleh orang-orang yang tepercaya. Kami sudah bosan dengan keadaan yang begini-begini saja” padahal saya juga justru BELUM tahu apakah memang mereka memiliki konsep yang jelas-jelas cocok dengan kebhinekaan kita. Mereka boleh mengatakan konsep mereka paling jempol tapi keadilan tidak diukur oleh konsep baku melainkan oleh konsep kejernihan berpikir.
Aduh, aduh… renungan saya membawa saya pada bagaimana kalau saya mati sebelum cita-cita saya tercapai padahal kenyataannya saya tidak pernah benar-benar punya cita-cita. Cita-cita saya hanyalah segumpal
kekecewaan yang harus saya balas dengan kutub sebaliknya. Saya bodoh, saya mau kuliah lagi. Saya miskin, saya pengen banyak uang. Saya jelek, saya pengen bisa beli alat dan jasa kecantikan. Saya belum punya ini, saya harus punya ini. Saya belum punya itu, saya harus punya itu. Semua dikendalikan oleh keinginan dalam diri saya.
Panjang sekali karena memang renungan saya berlangsung semalaman. Masih banyak yang harus saya sampaikan kepada Anda sebagai bentuk curhat dan sharing namun saya tidak mampu karena kemiskinan ilmu dan kepribadian itu tadi. Ilmu dan semesta ini terlalu luas untuk disombongkan. Airmata seringkali cukup untuk mengungkapkan rasa, termasuk rasa gembira sekalipun.
Hari ini saya kembali memelototi komputer saya. Kembali bekerja karena saya berjanji pada Account Representative saya di Hong Kong bahwa hari ini juga saya menyelesaikan pekerjaan yang mencapai deadline tanggal 21 Agustus dengan alasan “Selasa saya mau lihat lomba di sebuah sekolah kampung tempat teman saya ngajar dengan bayaran yang sangat minim”. Karena dia oke, maka saya harus menepati janji.
Ok, Sudara-Sudara. Apakah Anda punya pekerjaan yang harus segera dikerjakan? Jika ya, segera tuntaskan. Jika tidak segera dituntaskan, Anda tidak akan segera merdeka.
Allahu Akbar! Merdeka!!!
merdeka!!!
LikeLike
ikut juga ah! merdeka!!!
LikeLike