Challenges from A Friend

I have a new friend that has given me a lot of inputs about what I should do in my spiritual journey. She supports me with her reading the clues around me and finds solutions for not a few of my problems and several times provides me with challenges.

Once she told me to thank myself for having been supporting me all this ups and downs. She told me to love myself more than I do others – I’d been so exhausted, she said which is true. She also taught me a therapy to face myself – mirror therapy.

Image

http://agenesiscorpuscallosum.blogspot.sg/2009/05/reflections.html

In mirror therapy, I should look at my reflection on the mirror and talk to her. Oh my… It is just like I am having split personality. Yeah…. I was talking like crazy: I expressed my bad emotions at the beginning. Anger, disappointment, shame, fright,   humiliation, lonely, all those kinds of negativities bounced at me. By times, I got better – I said “I love you” to my reflection. Isn’t it to my self? Oh yeah… Yes, it works wonder.

Last night we chatted in whatsapp. This time she brought me one more therapy. It is calligraphy.

I was a bit stunned. It reminded me to a lot of forgotten hobbies. Talking to my self, standing in front of the mirror, saying thank you without reasons. And now calligraphy.

Image

http://www.studioarts.net/calligraphy/c2.htm

She said I need it to stabilize my inner power. My energy is balancing and my body should support it by harmonizing the inner waves. The idea of practicing calligraphy helps us pay attention on stable physical results by controlling emotion inside. I notice my handwriting becomes worst and worst, kinda scribbling rather than writing. Yes, it is time to go back to nature.

Once in elementary school I experimented using my own “font” when writing the a, b, c, d, e up to z in a test to match words and their meanings. And, my grade ended up at 70 while actually I got all correct. It failed in peer correction – my friends did not understand my font.

In junior high, I tried to join calligraphy class where we were taught how to handwrite words taken from Holy Koran. I got good grades. Oh my, I didn’t even know the meaning…. So interesting!

In senior high, we competed to have beautiful yet readable handwriting. And I was one of the best. Oh yeah!

In college I was even crazier…. I memorized by writing all the words…. Beautifully….

Yes, yes…. I am showing off….

Ha ha ha…. What I was trying to underline is calligraphy has been part of mine. I just forgot it some time. My friend came and offered me a new challenge and I love it not because I love the challenge itself but because it brings me to my own self.

Oh, I love this. Really. I am walking into my inner self and I am really happy. Like going back home….

Thank you, Tristi.

Singapore – October 21, 2013 – 21:51

 

TEMANKU, BINTANGKU

TEMANKU, BINTANGKU

Berupa-rupa diskusi kecil dalam keseharian saya ibarat bintang-bintang di langit, bertaburan tak beraturan tapi jika diamati mereka adalah gabungan rasi-rasi bermakna. Diskusi seru semacam bintang yang pijarannya ibarat Alpha Century. Yang sedang saja tetapi ajeg ibarat Mars yang rajin terbit dan tenggelam di muka bumi. Yang redup-redup saja ibarat bintang yang jauuuuuh, tidak terbaca konstelasinya dan pijarnya tidak cukup untuk terlihat mata telanjang.

Nyatanya bintang-bintang dengan atau tanpa kejelasan konstelasi tetap diharapkan kehadirannya di malam-malam manusia. Kalau tak ada bintang, malam jadi kelam atau menjadi kurang ramai karena hanya terlihat bulan saja.

Itulah makanya saya menghargai kehadiran teman. Kurasa tanpa teman hidup ini sepi, tak berkembang dan membosankan.

Seburuk apapun teman yang bisa kita ajak bertukar pikiran, dia bagaikan bintang yang menghiasi pemandangan hitam di langit. Dengan teman yang tak terlalu memahami alur pikiran kita, topik-topik ringan bisa menyemarakkan suasana. Yang dibutuhkan dari teman semacam ini hanya ketulusan untuk berbagi keceriaan tanpa ada kompetisi untuk memamerkan keakuan. Saya punya banyak teman seperti ini. Biasanya saling ledek tanpa batas justru membuat kami tertawa guling-guling seandainya guling-guling di tempat umum tidak memalukan.

Jika teman ngobrol punya frekwensi yang harmonis dengan getaran pribadi kita, pikiran berlompatan seperti sekawanan kelinci yang sedang menikmati sehatnya tungkai-tungkai lompatnya, bergembira. Pikiran hidup, melewati quantum yang secara fisika atau kimia hitungannya menjebolkan kalkulator ciptaan manusia. Disini aku menikmati “sharing session” yang menjadi bursa pemahaman dan membikin masing-masing komunikan menjadi cerlang jiwanya. Ah… teman-teman semacam ini memang jumlahnya tak banyak, mereka seperti kumpulan bintang yang telah kita definisikan konstelasinya, pijarnya dan manfaatnya.

Ada lagi sejenis teman yang justru saat ini sangat banyak meningkahi proses berpikir saya. Mereka ibarat bintang-bintang gumebyar (bergebyaran, Bahasa Jawa) dan membuat saya kesurupan. Bagaimana tidak kesurupan? Saya seperti menemukan batuan mulia gratis di dasar bumi yang normalnya berharga sangat tinggi di permukaan bumi. Teman ini membawa sesuatu yang baru yang sebelumnya tak terpikirkan. Atau, teman ini membawa sesuatu yang membuat saya berani menyatakan sesuatu yang selama ini saya sembunyikan lantaran ketakutan jika terlalu terbuka saya akan “dihajar” massa. Tetapi percayalah bahwa memiliki teman seperti ni bukan tidak menawarkan ketakutan. Ada sebuah ketakutan bernama rasa sungkan (enggan karena rasa hormat dan sedikit rasa kurang percaya diri, Bahasa Jawa) timbul.

Rasa minder campur hormat ini hadir ketika saya tertantang untuk bertanya tetapi ternyata pertanyaan saya ini seakan sebuah kerikil yang besarnya tak cukup besar untuk diselipkan di kulit ketapel rasa ingin tahu saya. Hasilnya, pertanyaan itu tak mampu dilontarkan. Rasa percaya diri kadang cukup besar tetapi pertanyaan itu hanya menuai tertawaan karena terlalu cebol untuk dibahas oleh teman-teman yang bintangnya gemerlap. Yah, pada kondisi ini aku seperti “cebol nggayuh lintang” (orang kerdil menggapai bintang, peribahasa Jawa)

Tak mengapa, perasaan itu justru membuat saya makin getol bertanya dan mencoba-coba menjawabnya sendiri dengan membaca dan membuat relasi-relasi walau kadang yang muncul adalah pertanyaan konyol selanjutnya atau jawaban yang tak bisa dimengerti secara instan.

Ok lah kalo beg beg begitu… teman-teman, bagaimanapun rupa jiwanya tak saya sesali kehadirannya. Separah apapun luka yang digoreskannya akan saya hargai sebagai sebuah hadiah yang kelak di pertemuan yang selanjutnya akan mereka kenal sebagai tanda mata. Mereka akan segera mengenal jejak yang mereka tinggalkan baik itu keceriaan dengan saya, keindahan berbaginya atau jawaban-jawaban yang dilontarkannya dan membuat saya memahami diri saya sendiri. Ada juga yang suatu saat nanti akan terharu atau menyesal karena luka-luka dalam yang ditinggalkannya justru membuat pohon jiwa saya berlekuk-lekuk indah tak seindah pohon jiwa mereka.

Temanku, bintangku. Kita berjumpa karena kita pernah berjumpa dan akan berjumpa di tempat yang lebih indah.

Salam.

Keramat, 25 Februari & 1 Maret 2010 – 10:20 & 10:02 malam