A Plan To Borobudur

Just last night I had a whatsapp conversation with two of friends, Dydy and Ina. We decided to visit Borobudur in September…. to take some snapshots and enjoy the friendliness of our root – Javanese culture.

We’ll stay in Jogjakarta from Friday and leave on Sunday to each of our bases: Dydy to Surabaya, Ina to Tulungagung and I to Singapore.

But we need a good itinerary, if you have a good suggestion — would you please share with me?

 3

Picture borrowed from http://abduzeedo.com/dreamy-photography-weerapong-chaipuck

Singapore – July 13, 2014 – 1:21pm

Challenges from A Friend

I have a new friend that has given me a lot of inputs about what I should do in my spiritual journey. She supports me with her reading the clues around me and finds solutions for not a few of my problems and several times provides me with challenges.

Once she told me to thank myself for having been supporting me all this ups and downs. She told me to love myself more than I do others – I’d been so exhausted, she said which is true. She also taught me a therapy to face myself – mirror therapy.

Image

http://agenesiscorpuscallosum.blogspot.sg/2009/05/reflections.html

In mirror therapy, I should look at my reflection on the mirror and talk to her. Oh my… It is just like I am having split personality. Yeah…. I was talking like crazy: I expressed my bad emotions at the beginning. Anger, disappointment, shame, fright,   humiliation, lonely, all those kinds of negativities bounced at me. By times, I got better – I said “I love you” to my reflection. Isn’t it to my self? Oh yeah… Yes, it works wonder.

Last night we chatted in whatsapp. This time she brought me one more therapy. It is calligraphy.

I was a bit stunned. It reminded me to a lot of forgotten hobbies. Talking to my self, standing in front of the mirror, saying thank you without reasons. And now calligraphy.

Image

http://www.studioarts.net/calligraphy/c2.htm

She said I need it to stabilize my inner power. My energy is balancing and my body should support it by harmonizing the inner waves. The idea of practicing calligraphy helps us pay attention on stable physical results by controlling emotion inside. I notice my handwriting becomes worst and worst, kinda scribbling rather than writing. Yes, it is time to go back to nature.

Once in elementary school I experimented using my own “font” when writing the a, b, c, d, e up to z in a test to match words and their meanings. And, my grade ended up at 70 while actually I got all correct. It failed in peer correction – my friends did not understand my font.

In junior high, I tried to join calligraphy class where we were taught how to handwrite words taken from Holy Koran. I got good grades. Oh my, I didn’t even know the meaning…. So interesting!

In senior high, we competed to have beautiful yet readable handwriting. And I was one of the best. Oh yeah!

In college I was even crazier…. I memorized by writing all the words…. Beautifully….

Yes, yes…. I am showing off….

Ha ha ha…. What I was trying to underline is calligraphy has been part of mine. I just forgot it some time. My friend came and offered me a new challenge and I love it not because I love the challenge itself but because it brings me to my own self.

Oh, I love this. Really. I am walking into my inner self and I am really happy. Like going back home….

Thank you, Tristi.

Singapore – October 21, 2013 – 21:51

 

PULANG KAMPUNG

PULANG KAMPUNG

Sebentar lagi Ramadhan tiba disusul oleh Idul Fitri tentunya dan saat pulang kampung pun datang. Saya harus siap sowan kepada orang tua saya di kampung, namanya juga pulang kampung ya harus disebut kampung walaupun kenyataannya daerah asal kita sudah sangat layak disebut kota.

Nah, saya ada sebuah kebiasaan “tidak membawa oleh-oleh banyak’ saat pulang kampung. Alasan utamanya adalah malas jinjing-jinjing dan junjung-junjung. Tapi syukurlah orang tua dan saudara-saudara saya tidak punya kelangenan yang susah dipenuhi sehingga saya tidak harus berjuang ekstra keras untuk mendapatkannya.

Oleh-oleh favorit mereka adalah buah-buahan segar. Selain itu terserah saya. Bisa Anda bayangkan alangkah tenangnya saya menjelang pulang kampung. Disaat rekan-rekan saya kebingungan belanja ini-itu dan sibuk mengepak, saya hanya harus memikirkan bagaimana mendapatkan tiket tanpa harus mengantre di stasiun Juanda atau mikir naik bus apa yang tidak macet di jalan atau sibuk menghubungi rekan-rekan saya yang bekerja di maskapai-maskapai penerbangan publik supaya mendapatkan tiket pesawat dengan cepat, mudah dan murah. Orang-orang model saya sih akhirnya mendapat tiket dengan sangat terlambat karena tidak mau mengantri, tidak bisa pulang jauh hari sebelum lebaran sehingga bisa naik bus atau travel, dan teman-teman saya hanya bisa menyediakan tiket yang mepet dengan hari H sehingga harganya tinggi dan mau tidak mau saya harus berpikir ulang untuk pulang kampung naik pesawat pada (H-). Biasanya saya akan pulang hari (H) setelah usai sholat Idul Fitri. Untung jarak bandara dengan perumahan tempat saya tinggal tidak jauh sehingga saya bisa bersilaturahmi ke para tetangga sebelum pulang kampung. Teman-teman lokal saya dengan senang hati mengantar saya ke bandara dan jika pesawat delayed, teman saya yang sedang bertugas di bandara akan dengan senang hati ngerumpi sampai saya ready for boarding. Surga dunia.

2500-Abang-Becak-Dapat-Sembako-1

Gambar dipinjam dari http://www.tulungagung.go.id/index.php/component/content/article?id=1003:2500-abang-becak-dapat-sembako

Sesampai di kota saya, saya akan segera meluncur naik becak ke arah rumah ibu saya. Disinilah saya baru berpikir buah apa yang akan saya bawa. Ada sebuah kios buah langganan ibu saya yang selalu saya kunjungi setiap pulang kampung. Beliau sudah menjadi langganan ibu saya sejak saya es em a jadi ya sudah hapal betul dengan saya dan keluarga. Berikut ini percakapana standar yang telah saya hapal urutannya:

Ibu buah

:

Pulang kampung!!! (sapaan standar)

Saya

:

Inggih, Bu.

Ibu buah

:

Mau yang mana? Kemarin ibu kesini juga lho, Mbak. Nyari jambu bol habis. Ini ada nih, beli aja biar ibu seneng. (padahal ibu belum tentu datang kemarin, bisa saja seminggu yang lalu)

Saya

:

Iya deh Bu. Dua kilo ya Bu.

Ibu buah

:

Ok. Apa lagi?

Saya

:

Salak pondoh lima kilo. Besok pasti banyak sodara datang. Duku. Klengkeng. Semua lima kilo.

Ibu buah

:

Bapak nggak dibelikan jeruk to, Mbak. (dia hapal buah favorit anggota keluarga saya)

Saya

:

Pasti, jeruk favorit bapak dua kilo. Kapan-kapan bisa beli lagi.

Ibu buah

:

Apel?

Saya

:

Iya. Buah kesukaan saya lagi nggak ada nih, Bu?

Ibu buah

:

Duren petruk? Lagi kosong. Udah ganti anggur aja.

Saya

:

Iya deh, itu yang di plastik semua aja ya Bu. Semangka kuningnya satu, melonnya dua. Besok jualan nggak Bu?

Ibu buah

:

Besok yang jualan bapake anak-anak. Bukanya agak siang mau sujarah ke rumah embah di Blitar dulu.

Saya

:

Bu, tambah duku satu setengah kilo dipisah ya. Bapak tua yang jualan kelapa ijo mana, Bu?

Ibu buah

:

Ok. Pak, Pak! Klapa ijo lima. Taleni. (Pak, Pak! Kelapa hijau lima. Diikat.)

Saya

:

Wis. Ditimbang terus diitung. Harganya jangan naik tinggi-tinggi ya. Sekalian harga kelapanya buat Bapak itu, Bu.

Ibu buah

:

Langganan lama tak murahi. Pak, duite ki. (Pak, ini uangnya.)

Walhasil saya membawa banyak sekali kantong plastik yang memenuhi becak saya. Sesampai rumah biasanya ibu saya yang menyambut saya dan meminta abang becak untuk menurunkan semua bawaan. Kantong duku saya berikan kepada abang becak untuk kudapan segar sambil menunggu penumpang.

langsat2

Gambar dipinjam dari http://sebuahkabar.blogspot.com/2010/04/saya-yakin-anda-sudah-sering-mendengar.html

Itulah kebiasaan saya pulang kampung baik saat lebaran maupun bukan lebaran. Biasanya ada satu lagi percakapan standar yang akan saya lakukan dengan seppu-sepupu saya.

Sepupu 1

:

Mana oleh-oleh dari Jakarta (kebanyakanmereka menyebut Jabodetabek sebagai Jakarta)

Saya

:

Tuh…

Sepupu 1

:

Buah pasti ya. Aku sih tahu itu kan dagangannya Ibu buah Karangrejo.

Saya

:

Ha ha ha…

Sepupu 1

:

Mbok sekali-kali bawa oleh-oleh yang orisinil dari sana to Rik, Rik…

Saya

:

Apa Mas?

Sepupu 1

:

Apa ya?

Sepupu 2

:

Empek-empek.

Saya

:

Palembang kaleee…

Sepupu 3

:

Baso.

Saya

:

Malang, Solo, Pak Min…

(Mereka pun sibuk mengabsen barang-barang yang pada akhirnya semua bisa mereka dapatkan di kota saya atau paling tidak di Surabaya yang bisa ditempuh sehari pulang pergi sambil berekreasi. Beberapa dari mereka bahkan pulang kampung dari Bali, Kalimantan, Sumatera, Irian, Singapura, Malaysia dan Inggris. Mungkin oleh-oleh mereka lebih spesial sesuai khasanah budaya dan alma daerahnya.)

Sepupu 1

:

Iya, ya. Kenapa di tivi aku lihat orang-orang pulang kampung pada gendheyotan bawa bawaan yang nau’dzubillah gitu? Padahal di tempat kita ada semua.

Sepupu 4

:

Ya biar kelihatan berhasilnya mereka. Tanda-tanda orang sukses kan membawa hasil. Memangnya Mbak Rike, tiap pulang bawaannya buah Ibu buah Karangrejo. Udah gitu nyari tiketnya yang murah, kapan bawa kendaraan sendiri? Berarti kamu belum berhasil, Nduk.

images

Gambar dipinjam dari https://www.flickr.com/photos/doremiphoto/6846224063/

Saya hanya tersenyum kecut sambil berikrar dalam hati, “Sebentar lagi saya akan bawa tugu Monas atau menara ATC Soekarno-Hatta deh biar dibilang sukses, saya bawa pesawat Hercules”.

Pulang kampung, pulang kampung…