Bokor Kencana (batik)

Bokor Kencana is a Javanese phrase formed from the words “bokor” and “kencana”. “Bokor” means jar commonly made from metal. “Kencana” or “kencono” means gold, golden. So, “bokor kencana” is golden jar.

While many associate “bokor” with a jar to contain flowers and water in Javanese ceremonies, it is also mentioned in one of Javanese traditional songs  (Tembang Mocopat) called “Asmarandana” in which “bokor kencana” is used to describe golden jars carried by the deities whose task is to distribute blessings at the  later time of night (midnight to time before dawn).

batik Bokor Kencana from Ibu Tien’s team

To me the “bokor kencana” in Asmarandana song is suitable to describe this Javanese batik pattern.

Javanese people (traditional ones) love to stay awake late at night until early morning because they believe those who give up most of their sleep portion will receive extraordinary blessings especially higher spitituality, wisdom and charisma. Is it true? No one knows if it is truly. A belief is a belief; let the believers prove it. Giving little to no judgement is better.

a full length of Bokor Kencana taken picture by Mbak Izzah

Additionally I read somewhere that this batik pattern is allegedly the one designated to all ranks of Javanese people without exception since its first composition; not only for royal but also for laypeople. Everyone can wear it.

It obviously underlines that this batik pattern is a symbol that everyone can reach higher spiritual/wisdom/charisma level regardless the position in the society as long as they are willing to give up some part of their comfort.

What a relief! At least in this particular area other than time life is fair!

😊

Asmaradhana

Aja turu sore kaki
Ana dewa nglanglang jagad
Nyangking bokor kencanane
Isine dunga tetulak
Sandang kalawan pangan
Yoiku bagianipun
Wong melek, sabar, narima

English translation
Don't sleep early
There are deities wander around the universe
Carrying their golden jars
In which protection prayers are contained,
Also clothing and food *)
Apportioned for
Those awake (sleeping less), patient, acceptant

*) clothing and food is a symbol of basic welfare in Javanese culture. First basic is clothing followed by food then house. Sandang (clothing) comes before food in traditional Javanese culture as sandang means dignity and self esteem. Traditional Javanese prefer suffering from hunger to suffering from shame. Traditional Javanese will not eat your free food if you give the food by showing arrogance or superiority, not because they want to be more than you, they just want basic respect as fellow human beings. This value has shifted in modern era where dignity is defined differently– people prefer eating for free although they have to give up their self esteem. This applies not only to real food but also to modern consummerism

ASMARANDANA

ASMARANDANA

Asmarandana termasuk tembang alit (tembang alit lainnya adalah Mijil, Sinom, Dhandhanggula, Kinanthi, Durma, Pangkur, Maskumambang dan Pucung). Ada lagi dua kelompok tembang lain yaitu: tembang tengahan (Jurudemung, Wirangrong, Balabak, Gambuh, Megatruh) dan tembang ageng/gedhe (Girisa).

Tembang Asmarandana (Asmaradhahana) umumnya dilagukan oleh orang yang sedang dimabuk cinta. Secara kasar, Asmarandana diambil dari kata asmara yang artinya cinta atau kasih sayang, dan dahana yang artinya api. Oleh karena itu, isi dari tembang Asmarandana adalah “wuyung” alias cinta atau asmara dan segala sesuatu yang berhubungan dengan cinta. Pemaknaan lainnya, Asmara juga merupakan dewa percintaan dan Dahana berarti api. Nama Asmarandana berkaitan dengan peristiwa hangusnya dewa Asmara oleh sorot mata ketiga dewa Siwa seperti disebutkan dalam kakawin Smaradhana karya Mpu Darmaja.

Dalam Serat Purwaukara, Smarandana diberi arti remen ing paweweh, berarti suka memberi. Mari kita kaitkan dengan sifat Allah yang Rahman dan Rahim.

Maka jika Anda sedang dimabuk cinta, tiada salahnya Anda melantunkan tembang ini atau dengarkan saja alunan gamelan berikut. Btw, yang melaras (memainkan) gamelan Jawa kok bule-bule ya? Tak ada salahnya juga, bule juga boleh dong melestarikan budaya Jawa. Dan, sebaliknya orang Jawa juga boleh dong nguri-uri budaya bule. Kita bersama-sama melestarikan budaya dunia asal tidak saling klaim ini punyaku, ini milikku.

Yuk kita coba melihat seperti apa sih lirik alias tembang Asmarandana ini. Saya berusaha menerjemahkan secara bebas berdasarkan pengetahuan saya yang sangat terbatas tentang bahasa sastra Jawa.

Asmarandana yang langsung berhubungan dengan percintaan

Gegaraning wong akrami (penguat dalam pernikahan)

Dudu bandha dudu rupa (bukan harta atau fisik)

Amung ati pawitané (tetapi hatilah modal utamanya)

Luput pisan kena pisan (sekali jadi, jadi selamanya)

Lamun gampang luwih gampang (jika mudah, semakin gampang)

Lamun angĂšl, angĂšl kalangkung (jika sulit, sulitnya bukan main)

Tan kena tinumbas arta (tak bisa ditebus dengan harta)

Asmarandana yang berkaitan dengan sifat memberi

Aja turu soré kaki (jangan tidur terlalu awal)

Ana Déwa nganglang jagad (ada dewa yang mengelilingi alam raya)

Nyangking bokor kencanané (menenteng bokor emasnya)

Isine donga tetulak (yang berisi doa penolak bala)

Sandhang kelawan pangan (sandang dan pangan)

Yaiku bagéyanipun (yaitu bagian untuk)

wong melek sabar narima (orang yang suka tirakat malam, sabar dan menerima)

Masih penasaran? Silakan berburu ilmu budaya Jawa J