Kenangan Manis Bernama Masa Kanak-Kanak
Dalam keadaan setengah hidup setengah tidak mati begini rasanya sangat hidup setiap saat saya terbang kembali ke masa usia sekolah dasar. Tak ada kategori jahil atau terang saat itu. Semua saya lakukan penuh keikhlasan.
Dulu saya suka sekali main sepeda sampai ke daerah-daerah berjalan tanah dan berpagar hutan dan lembah. Sepeda saya mini warna merah, berkerangjang putih, sadelnya sudah somplak sehingga hanya tinggal plastik putih keras sehingga pantaat harus diangkat saat melewati daerah bergelombang atau terjal untuk menghindari sakit pantat ha ha ha…
Saya juga suka bermain masak-masakan di petak tanah kering di musim tembakau. Masih teringat saya seorang junior bernama Astutik yang kerap kami panggil Timbul karena bentuk mukanya yang bulat montok dan putih menjadi koki pasangan masak saya. Dengan dia saya membawa kaleng bekas minyak goreng cap Ikan Dorang untuk memasak sayur dan nasi bergantian, seikat bayam, pepaya muda, bumbu sayur menir, dan beras. Kami memasak berharap berbuka saat bedug dhuhur tiba tapi ternyata kami makan sebelum dhuhur tiba. Lalu kami saling memarahi karena batal puasa.
Saya suka mengumpulkan makanan sebelum berbuka. Ketika bedug Maghrib tiba, makanan itu tidak terjamah karena kekenyangan. Kolak, komot, cenil, gethuk, jambu biji, jeruk bali, dll tak termakan tanpa penyesalan.
Saya juga suka “mengganggu” Yu Yatini (asisten di keluarga kami) yang sedang membuat penganan untuk kami: kalau beliau sedang membuat nagasari atau lemet atau apapun yang berbungkus daun atau plastik atau kertas, maka saya membuat versi mininya; kalau beliau membuat kue semprit, saya membuat versi luar angkasanya; saat beliau membuat cake ban (karena bentuknya seperti ban), saya hanya bisa membantunya mencurahkan warna coklatnya lalu mengaduknya dengan lidi sehingga tercipta corak batik diantara adonan kuning yang sudah dimasukkan sebelumnya; kalau beliau sedang memarut kelapa, saya membantunya dan menyerahkan cikalan (daging kelapa) kecil lantaran saya takut jari saya keparut.
Saya suka sekali melewatkan liburan saya di kampung asal asisten keluarga kami. Saya bermain dengan keponakannya, Nining Catur Utami yang sering diledek “cekot” karena tangannya panjang sebelah akibat lapraktik dokter. Dialah sahabat saya sampai saat ini.
Saya gemar memanjat berbagai macam pohon kecuali pohon jenis palem termasuk pohon nyiur karena tidak memiliki dahan yang memungkinkan saya berpijak dengan mudah.
Saya suka nonton Acara Untuk Keluarga di TVRI yang tak jarang menyajikan cara membuat boneka dari kaos kaki, cara merangkai bunga Ikebana, cara membuat bunga kering, cara membuat batik jumputan, cara membuat bunga dari sedotan plastic, cara membuat patchwork, cara merajut, cara memanfaatkan kaleng bekas, dan berbagai macam ketrampilan yang tak jarang saya praktikkan tanpa arahan siapapun kecuali ingatan saya tentang arahan para ibu trampil yang kadang-kadang membawa serta anak-anak perampuannya saat syuting; dan saya iri karena anak-anak seusia saya tahu berbagai ketrampilan dan bisa masuk tivi ha ha ha…
Saya suka meminta bapak dan ibu saya menggambar bunga untuk saya. Ibu saya gemar menggambar bunga mawar yang terdiri dari mawar yang mekar sempurna, setengah mekar, kuncup, daun dan tangkai berdurinya. Bapak saya tidak pernah tidak menggambar bunga melati bergerombol dengan daunnya yang bulat-bulat. Saya tak bosan walaupun mereka mungkin bosan melihat saya tak bosan-bosan meminta mereka melakukan hal yang sama yang bagi mereka membosankan dan buang waktu saja.
Saya juga suka menabung uang-uang logam sepuluh dan lima rupiahan dalam cepuk (wadah plastic serupa mangkuk) sabun krim Wing’s yang sebenarnya bisa saya buka kapan saja tapi tetap saja saya lubangi tutup atasnya supaya saya “merasa” benar-benar nyelengi.
Saya gemar berenang di kali dekat stren (tanah lapang berumput yang diselingi pohon kelapa) walaupun saya hanya bisa naik punggung Yu Suminah Sugeng, kakak Kang Slamet – lelaki sabar yang tugasnya mendampingin bapak kami dan saat senggang momong adik lelaki saya.
Saya suka bertualang bersama teman-teman saya. Saya pernah menginap di rumah Dik Rosi (putra pak Kakandep) lalu pagi-pagi menyelinap keluar rumah berlagak menculik si pemilik rumah lalu menyanderanya di rumah yang lain (tempat tinggal Eyang Putri si anak tersebut ha ha ha). Saya, Dik Nana, Ana, Dik Rosi dan Lestari.
Saya suka pergi ke langgar (mushola) walaupun saya tidak punya mukena sendiri sampai saya usia SMP. Saya membawa jarik (kain batik panjang) dan peniti lalu membuat mukena darinya dibantu oleh teman-teman saya yang telah memiliki mukena sendiri-sendiri walaupun tidak baru: bisa lungsuran kakak atau ibunya. Fadilah, Fadhilun, Muslihatin, Endar adalah nama-nama yang menginspirasi religiusitas masa kecil saya. Saya belajar mengaji pada mereka.
Saya suka makan didih (darah ayam yang dibekukan) goreng. Padahal didih itu adalah bagian yang tak diinginkan, ditampung di mangkuk daun pisang saat ayam disembelih oleh Mbak Bayan lanang (laki-laki) lalu digoreng oleh Mbak Bayan wedok (perempuan) untuk dinikmati bersama. Mbak Bayan lanang dianggap tahu doa Islam dalam menyembelih ayam. Beliau rajin puasa dan sholat lima waktu. Beliau tahu kapan beliau akan meninggal dan mempersiapkan diri dengan berbaring di pembaringannya, memanggil anak-anaknya, menyuruh mereka tahlilan dan malam itu juga beliau meninggal. Setelah Mbak Bayan lanang meninggal saya tidak pernah makan didih lagi karena ayam yang akan dimasak disembelih oleh anak lelaki Mbak Bayan yaitu Pak Bayan dan beliau membuang darah ayam di lubang tanah. Aku dan anak-anak kecewa.
Hampir sama dengan Sherina dalam Petualangan Sherina ketika dia akan pindah ke kota lain, saya menangis diatas mobil los bak yang membawa saya ke terminal karena saya harus pindah ke kota lain. Saya meninggalkan sebuah rumah kayu jati pondasi batu dan semen, bertegel traso putih bersih, berhalaman depan dan samping sangat luas penuh pohon dan bebungaan. Di rumah itu aku pernah sakit dan senang, disana aku pernah menikmaati setiap detik keceriaan dan kepolosan. Di halaman depannya saya pernah bermain pasir bersama teman-teman ngobrol ngalor ngidul a la anak kecil yang penuh imajinasi. Dan halaman sampingnya pernah menjadi arena pertunjukan ludruk dan kethoprak yang diadakan oleh Mas Herin dan Mbak Yuda, kakak-kakakku yang idenya spektakuler tak terjangkau oleh kelompok bermainku yang hanya dijadikan cantrik dan penggulung layar saat pertunjukan.
Teman-teman saya menangis, melambaikan tangan dan ada seorang dari mereka yang tak kuat dan berbalik lari sambil tergugu. Dik Nanik, Dik Luluk, Dik Lilik, Timbul, Mu Kancil, Udin, Dwi, Dik Tina, Dik Nana… I love you all.
Saya suka melewatkan waktu saya di gubug tengah sawah yang kadang membuat pemilik sawahnya iri karena saya lebih dulu menempatinya. Alangkah baiknya bapak tua itu. Semoga dia diberkahi. Amin. Saya bawa buku-buku yang saya baca hingga menetes air mata saya. Buku-buku petualagan anak yatim piatu dan buku-buku cerita Indian.
Saya suka melewatkan siang saya di gudang samping rumah Budhe Rodiyah karena disitu tersimpan bertumpuk-tumpuk majalah Jayabaya dan Panjebar Semangat. Istana bacaan mewah bagiku yang sedang musim paceklik jauh dari orang tua.
Saya suka bermain di kali dekat sawah dan membuat dempu (bola tanah) dari pasir kali. Dempu paling besar dan tahan pecah adalah yang terbaik. Susanti adalah pembuat dempu terhabat sepanjang sejarah perdempuan kami. Dempunya mulus bisa sebesar bola volley dan tidak retak dalam waktu yang lebih lama daripada dempu kami yang lebih kecil dan kasar.
Saya juga suka naik sepeda turangga milik Budhe Rodiyah, ipar ibu saya. Saya pernah keliling kampong ditugasi menagih hutang ibu-ibu PKK oleh beliau. Saya ditemani Poningah. Kami tertawa-tawa menghapalkan kalimat yang harus kami ucapkan pada penghutang dan kata-kata tangkisan yang harus kami ucapkan jika mereka meminta tempo. Sekarang Poningah menjadi orang kaya di kampungku, suaminya adalah seorang TKI di USA. Kabarnya suaminya bekerja di bagian administrasi sebuah dermaga ikan disana.
Saya suka mencuri… Saya dan teman-teman adalah pencuri buah-buahan di kampong. Jambu monyet, jambu batu, mangga manalagi, mangga Bu Guru (beliau adalah pensiunan guru jaman dulu yang wibawanya masih dibawa sampai beliau berusia delapan puluhan, pohon mangga di halaman depannya yang sangat luas terkenal khas manisnya), nangka Mbah Bin (nenek ini tinggal tepat di depan rumah kami, nangka yang saya curi ternyata sebenernya akan dipersembahkan pada ibuku yang selalu rela memberikannya soft loan tiap minggu karena orang tua malang ini kekurangan uang), anggur hijau, dll.
Saya suka berburu sesaji padi. Tiap musim panen banyak petani yang mengadakan upacara methik (menyediakan sesaji bagi Dewi Sri pada saat pohon padi berusia hamper panen). Sesaji yang tersiri dari setakir (mangkuk dari daun pisang) urap, sebutir telur mentah ayam kampong, sepotong ayam bumbu bali, ati ampela goreng dan beberapa makanan kecil lain serta tak ketinggalan kemenyan, bunga setaman dan boreh (kapur lunak yang diberi wewangian). Kami berlomba mendapatkannya karena sesaji itu ditempatkan di sudut-sudut petak sawah tertentu. Sehingga kami harus mengikuti si pembawa sesaji. Biasanya si pembawa sesaji sengaja mempermainkan kami supaya kami kebingungan dan kelelahan. Kalau sudah begitu kami akan bubar satu per satu dan si pembawa sesaji itu dengan aman meletakkan takir-takirnya dengan aman. Jika sudah usai, dia akan berteriak,”Hooooooooeeeeeeeeeeeeeeee… Wis kene gagak-ono!!!” (Hoy, nih silakan kalian ambil dan makan). Acara ini terkenal dengan sebutan “nggagak-i wong methik”. Saya, Nining dan Kandung & his gang berkejaran tarik-menarik baju berebut jalan menuju sesaji terbesar.
Saya suka belajar bersama. Ada sebuah gubug kecil di belakang rumah Pakpuh Bandi (kakak ibuku yang ketiga) yang setiap siang menjadi tempat saya, Nining dan Mas Ongko (putra bungsu pakpuh saya yang sekarang menjadi kepala desa kampong saya) belajar sambil bercanda. Di samping kandang itu ada sebuah rumah yang tak sepi dari irama kendang atau seruling bamboo karena Mas Tri dan Pristiawan adalah kaka beradik seniman desa kami yang terkenal halus cita rasa musiknya. Tak jarang kami bertiga terbuai alunan kendang dan seruling mereka sampai surup (waktu Asar hamir Maghrib).
Saya suka mengelana saat kemarahan saya memuncak. Saya akan bersepeda ke arah daerah pegunungan lalu berlabuh di rumah kakak sulung ibu saya. Disana saya bertemu sepupu-sepupu saya yang sangat menyayangi saya. Mereka akan membawa saya ke sungai besar berbatu besar, ke mbelik (telaga kecil) untuk mandi, ke kebun jeruk untuk luru (memunguti buah yang jatuh secara natural karena angin atau tangkainya rapuh) jeruk. Setelah menginap semalam saya akan pulang dengan membawa setas plastik jeruk dan uang lima ratus rupiah yang pada saat itu sangat berharga. Malam harinya kami biasanya mendengarkan sandiwara radio horor berjudul Bahu Laweyan. Televisi tak selalu bagus gambarnya karena tiang antene yang kurang memadahi panjangnya atau karena accu yang harus di-seterek (di-recharge). Saya, Mas Erik dan Mbak Ida berdesak-desakan ketakutan sambil tertawa-tawa karena musik horor dan percakapan-percakapan pemain yang seakan nyata.
Saya suka mengunjungi Pakpuh Seno, kakak kedua ibu saya, supaya saya bisa melayani para pembeli di toko beliau. Budhe Ti, istri beliau, mengelola sebuah toko kelontng terbesar di desanya. Saya sangat gemar duduk di kursi dekat etalase belakang lalu membantu mengambilkan sabun, shampo, minyak wangi, kartu remi, tali rafia, bedak, lipstik, jarum, benang, gula, kopi dan apa saja yang dibutuhkan pembeli. Mbak Tantri, putri bungsu mereka yang sebaya saya, adalah partner dagang saya. Dia yang bertugas menjadi kasir karena saya tidak pernah mau berurusan dengan uang yang lepek karena dipegang para pedagang yang sedang kulakan (membeli untuk dijual lagi) di toko itu. Dia suka sekali berteriak jenaka “Dik Rike…enek tikuuuuus!!!” Saya pun berteriak-teriak sambil mengibas-kibaskan rok saya karena jijik. Setelah sadar itu tipuan kami tertawa-tawa berdua. Biasanya Budhe Ti akan protes “Heeeeh… Ojo guyon ae. Ngageti wong turu!” (Hey jangan bercanda saja. Ngagetin orang tidur!”)
Saya suka menangis sendiri… Saya mengadu pada-Nya saat sendiri. Saat saya mengayuh sepeda, saat saya tiduran di gubug, saat saya luru jeruk di sudut terujung kebun jeruk Pakpuh Pur, saat saya di kamar mandi, saat saya slulup (menyelam) di kali, saat saya mengendap-endap sebelum mencuri buah-buahan, saat saya menyulam sendiri si kamar, saat saya membaca kisah Peter dan Anna, saat saya benar-benar sendiri… Kenapa saya tak bisa menikmati keakraban san kehangatan itu dengan orang tua saya… Mereka yang begitu gigih memperjuangkan nasib kami. Mereka yang harus rela berjauhan dengan kami demi menghidupi kami. Mereka tak takut menghadapi kerasnya hidup untuk kebahagiaan hidup anak-anaknya.
Saya menyukai masa kanak-kanak saya. Saya teramat merindukannya.
Like this:
Like Loading...
You must be logged in to post a comment.